Net
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)
|
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan, remisi untuk koruptor merupakan salah satu bagian dari hukum. Pernyataan JK ini sekaligus menanggapi dan membela pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Belakangan, Yasonna mewacanakan perubahan kriteria pemberian remisi kepada narapidana kasus korupsi.Kendati saya sudah pernah membahas argumentasi legal formalisme tsb dan menolaknya, tetapi saya anggap perlu untuk mengulanginya. Sebab yang bicara adalah orang nomor 2 di negeri ini yang idealnya juga memiliki komitmen yang sama dengan Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Perbedaan pandangan kedua pemimpin tsb, hemat saya, bukan hanya sekadar pendekatan saja, tetapi mewakiki dua paradigma yang berbeda sehingga akan mempunyai dampak yang signifikan terhadap pembuatan kebijakan publik yang berlingkup nasional terkait masalah strategis seperti penanggulangan dan pemberantasan korupsi itu. JK tampaknya memakai landasan pragmatis dan legal positivisme dalam menyikapi hukuman terhadap koruptor. Dengan demikian, pelaksanaan hukuman bagi beliau tidak ada kaitannya dengan apa yang disebut dengan rasa keadilan dan moralitas publik, demikian juga keterkaitannya dengan kondisi riil yang ada dalam masyarakat.
"Kalau orang sudah di penjara, tentu merasakan vonis yang sudah bagian dari menjalani aturan-aturan yang ada," kata JK di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu (18/3).
JK meyakinkan semua prosedur terkait remisi akan sesuai dengan aturan, terutama terkait dengan hukuman bagi koruptor. - Dikutip dari: Cnnindonesia.com, Rabu, 18/03/2015.
Padahal, rasa keadilan masyarakat Indonesia sangat terusik dengan ringannya hukuman yang selama ini dijatuhkan kepada para koruptor kakap jika dibanding dengan kejahatan-kejahatan biasa. Tuntutan publik yang menginginkan agar penerapan hukuman mati terhadap para koruptor dilaksanakan merupakan indikator ketidak puasan dan ketidak percayaan publik terhadap penerapan hukuman yang kini berlaku bagi koruptor. Demikian pula angka statistik yang menunjukkan bahwa rata-rata para koruptor di negeri ini hanya mendapatkan hukuman rata-rata dua tahun penjara. Ini merupakan indikasi masih terabaikannya rasa keadilan tsb. Tak heran jika adagium "pisau hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas" menjadi sangat populer di dalam wacana hukum di ruang publik.
Oleh sebab itu paradigma legal positivisme menjadi anakronistik dalam kondisi seperti ini. Ia menjadi dalih dan kamuflase bagi kelompok kepentingan dan kekuasaan melalui tafsir dan penerapan norma hukum yang berlaku. Sepintas lalu, statemen JK dan YL punya landasan logika yang kuat. Namun jika diperhadapkan dengan realitas dan prinsip keadilan maka sangat perlu untuk dipertanyakan motif di baliknya.
JK dan YL serta para pendukung legal formalisme baik sengaja atau tidak telah menafikan aspek keadilan yang subatamtif dan hidup dalam masyarakat. Pertimbangan yang digunakan masih instrumetalistik sehingga cenderung bias pada kekuasaan. Dan jika paradigma seperti ini dominan dalam dunia peradilan di negeri ini, maka akan semakin terabaikan pula aspirasi dari mereka yang terpinggirkan dan tak punya akses kepada kekuasaan.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Tanda Tanya? Mengapa JK Pro Pemberian Remisi Kepada Koruptor?"