Selamat Datang - Wellcome

Putusan Praperadilan Kasus Surya Dharma Ali dan Anarki Hukum

SUARA KAMI - Bukan putusan Hakim itu benar yang membuat saya terpana, tetapi argumennya itu. Hakim PN Jakarta Selatan, Tatik Hadiyanti (TH), menolak total pengajuan praperadilan mantan Menteri Agama, Surya Dharma Ali (SDA). Seperti diketahui, SDA ingin menggunakan preseden praperadilan tersangka tipikor Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai "casus belli", dimana praperadilan terhadap KPK menang dan kini BG tidak lagi menjadi tersangka. Namun, Hakim yang menangani bukanlah Hakim Sarpin Rizaldi (SR), tetapi Hakim TH. Hasilnya mengecewakan bagi SDA: KPK menang.

Putusan Praperadilan Kasus Surya Dharma Ali dan Anarki Hukum
Net
Mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali (SDA)
Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Suryadharma Ali Melawan KPK
CNN Indonesia -- Hakim Tatik Hadiyanti memutuskan menolak seluruh permohonan praperadilan bekas Menteri Agama Suryadharma Ali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4). Pertimbangannya, penetapan tersangka yang menjadi dalil materi dianggap hakim Tatik bukan kewenangan lembaga praperadilan.

"Permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya," ujar Hakim Tatik.

Pertimbangan hakim Tatik mengacu pada Pasal 1 angka 10 KUHAP jo Pasal 77 KUHAP jo Pasal 82 ayat 1 yang mengatur kewenangan praperadilan yang bersifat limitatif. Hakim juga berpendapat, penetapan status tersangka bukan upaya paksa, melainkan tahap administrasi awal menuju proses hukum selanjutnya, yakni penangkapan atau penahanan.

Pendapat hakim Tatik didukung pendapat saksi ahli yang diajukan KPK, Yahya Harahap, yang mengatakan tindakan yang dikategorikan upaya paksa sudah jelas disebutkan dalam KUHAP.

Hakim juga mengesampingkan putusan praperadilan sebelumnya yang digunakan Suryadharma, yakni putusan hakim Sarpin dalam perkara Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, Suryadharma akan tetap menjalani proses hukum sebagai tersangka kasus korupsi dana ibadah haji di Kementerian Agama.

Hakim tunggal Tatik mulai membacakan putusan pada pukul 10.00 WIB di ruang sidang utama. Tampak puluhan massa pendukung Suryadharma memenuhi ruang sidang, termasuk Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana.

Suryadharma ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 22 Mei 2014 atas kasus dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2010 hingga 2013.

Dia disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana juncto Pasal 65 KUHPidana. (Ranny Virginia Utami, CNNIndonesia.com, Rabu, 08/04/2015)
Rupanya dalam sistem hukum di Indonesia, seorang Hakim bisa membuat putusan beda dalam pokok perkara yang jenis dan sifatnya sama. Dan ini menurut Mahkamah Agung (MA) boleh-boleh saja. Bagi saya yang bukan pakar hukum, ini adalah ANARKI HUKUM dan sangat berbahaya bagi tatanan hukum dan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Saya tidak tertarik mengomentari produk putusan Hakim-hakim tsb, karena hal tsb bukan kompetensi atau hak saya. Tetapi sebagai warganegara yang peduli (concerned citizen) saya merasa punya hak penuh mengomentari dan mengritik kekacauan hukum ini. Sebab jika anarki dibiarkan di bidang hukum, maka anarki sosial dan politik tidak akan bisa dielakkan juga.

Hakim TH dengan tegas menyatakan bahwa beliau tidak mempertimbangkan putusan Hakim SR. Padahal kasus yang diajukan SDA 100% sama dengan BG yakni status tersangka yang dikenakan pada mereka oleh KPK. Yang lebih mengejutkan lagi, argumen yang digunakan TH juga telak-telak bertentangan dengan argumen Hakim SR, yaitu bahwa penetapan tersangka yang dijadikan dalil oleh pemohon bukanlah wewenang Pengadilan. Padahal RS dalam kasus Praperadilan BG telak-telak menganggap itu wewenang Pengadilan dan bahkan kemudian ia menganggap bahwa penetapan status tersangka oleh KPK dinyatakan tidak sah!

Putusan Hakim TH mirip dengan putusan Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto beberapa waktu sebelumnya yang juga menolak mentah-mentah argumen Hakim SR. Tetapi MA tetap bergeming dengan mengatakan bahwa hal itu adalah diskresi Hakim Pengadilan Negeri. Dalam pandangan saya, itu bukan diskresi tetapi kekacauan nalar yang dipakai MA. Saya cenderung mengatakan bahwa MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di negeri ini telah terhanyut dalam permainan dan kepentingan politik sehingga mengabaikan salah satu prinsip utama yang harus dipegang yaitu adanya kepastian hukum.

Semakin jelas bahwa negeri ini memerlukan overhaul alias perubahan mendasar terhadap MA karena kegagalannya menjadi pilar utama dalam penyelenggaraan ketatanegaraan dan sistem demokrasi yakni melindungi keadilan dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh warganegara Indonesia. MA seperti adanya saat ini sudah sama dengan tidak adanya, atau dalam istilah pesantrennya "wujuduhu ka 'adamihi." Quo vadis hukum di Republik Indonesia?

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Putusan Praperadilan Kasus Surya Dharma Ali dan Anarki Hukum"