Net
Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri
|
Berdasarkan UU Pemilu, presiden dan wakil presiden dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Presiden tidak dicalonkan secara independen.Saya menganggap statemen itu mengacaukan antara dua masalah: prosedural dan substansi. Benar bahwa prosedur pencalonan seorang Presiden dan Wapres diatur dalam UU Pilpres sebagai penjabaran UUD 1945 yang tidak mengenal adanya calon independen. Namun UU tidak mengatur bahwa dengan demikian ketika seorang Presiden telah resmi terpilih dan bekerja, maka kedudukannya tak lebih dari petugas partai yang mengusulkan. UUD justru menyatakan bahwa Presiden adalah Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Kedua posisi tersebut jelas tidak sama dengan petugas partai, tetapi mengatasinya. Dengan demikian, klausul tentang pencalonan capres, adalah masalah prosedural dan bukan substansi dari fungsi dan tugas pokok Presiden. Jika seorang Presiden "hanya" perpanjangan dari kepentingan parpol, maka derajatnya tentu bukan sebagai Kepala Negara, yang mewakili dan menjadi lambang dari negara dan bangsa. Bukan hanya parpol saja.
Demikian disampaikan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan sambutan pembukaan Kongres IV PDI Perjuangan di Inna Grand Bali Beach, Bali (Kamis, 9/4).
Dengan amanat UU dan sistem demokrasi ini, lanjut Megawati, maka Presiden dan Wakil Presiden sudah sewajarnya juga menjalankan garis kebijakan politik partai. Dan itulah mengapa kebijakan partai harus menyatu dengan kehendak rakyat sehingga suara rakyat yang tersembunyi bisa disuarakan partai.
Megawati pun mengingatkan, saat ini ada sementara pihak yang selalu mengatasnamakan independesi dan mengatakan bahwa partai adalah beban demokrasi. Megawati pun tidak menutup mata memang ada kelemahan di tubuh partai dan ini menjadi kritik serta otokritik. [Dikutip dari RMOL.CO, Kamis, 9/4/15]
Karena status parpol adalah wahana bagi capres, maka bisa saja secara teoritis sebuah parpol atau gabungan parpol mencalonkan kandidat dari luar anggota parpol tsb sebagai capres. Tidak ada keharusan dalam aturan perundang-undangan tsb yang menyatakan bahwa seorang capres mesti seorang anggota parpol tertentu. Konsekuensinya, kalaupun seorang capres adalah orang yang sama sekali tidak punya partai hal itu sah-sah saja, sejauh bahwa pengusulnya sebagai capres adalah sebuah atau gabungan parpol yang memenuhi syarat.
Substansi tugas pokok dan fungsi seorang Presiden jelas mengatasi tupoksi seorang petugas partai. Kendati demikian bisa saja parpol pengusung membuat perjanjian dengan si capres bahwa ia harus melaksanakan program atau agenda-agenda yang seuai dengan kepentingan parpol tsb. Namun sang Presiden mempunyai hak penuh untuk melakukan penilaian apakah kepentingan-kepentingan tersebut memang layak untuk diikuti atau dianggap berlawanan dengan kepentingan yang lebih besar dan/atau nurani serta pertimbangan strategis lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, politik, dan moral. Di sinilah letak "independensi" Presiden secara substantif. Dalam konteks Presiden Jokowi (PJ), beliau adalah seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, bukan petugas partai PDIP atau KIH semata-mata. Independensi Presiden Jokowi bukan karena beliau adalah calon independen, tetapi karena tupoksinya yang termaktub dalam Konstitusi.
Kesan saya, pidato MS masih menggunakan paradigma "petugas partai" yang pernah dilontarkannya pada saat Presiden Jokowi masih calon, dan juga pernah diungkit oleh Puan Maharani (PM) beberapa waktu setelah Presiden Jokowi menjabat. Terpulang kepada Presiden Jokowi apakah beliau akan menggunakan atau tidak paradigma tsb. Tetapi bagi saya, indepedensi seorang Presiden RI bukanlah kategori prosedural, tetapi adalah substantif.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam.
0 Response to "Mengintip Pidato Megawati Tentang Independensi Presiden RI Joko Widodo"