Selamat Datang - Wellcome

Diperlukan Kemauan Politik Yang Kuat Untuk Membangun PLTN

SUARA KAMI - Program pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia masih tetap merupakan suatu hal yang akan sulit dilaksanakan dalam tempo yang cepat. Kendalanya bukanlah pada masalah-masalah kemampuan teknis, ketidak siapan masyarakat, pembiayaan yang tinggi, dan lokasi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan berada dalam cincin berapi (ring of fire). Bahkan juga bukan soal kekayaan alternatif sumberdaya energi yang (konon) masih melimpah itu. Kalau hanya perkara-perkara tersebut, semuanya sudah terjawab dan merupakan alasan-alasan klasik yang mudah dijawab. Persoalan yang paling serius sejatinya adalah kemauan politik dari para pembuat kebijakan nasional di bidang energi, khusunya dan terutama dari Pemerintah sendiri.

Wakil Presiden Jusuf Kalla - Diperlukan Kemauan Politik Yang Kuat Untuk Membangun PLTN

Selama kemauan politik mengenai pembangunan PLTN masih hanya retorika belaka, maka kendati nanti semua negara-negara jiran seperti Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Vietnam telah selesai dengan pembangunan PLTN-PLTN mereka, Indonesia hanya akan menjadi penonton belaka. Bukan cuma itu, ketergatungan Indonesia terhadap energi pada saat itu sudah tidak dapat lagi diatasi sehingga negeri ini pun akan sangat lemah baik dari sisi kesejahteraan maupun keamanan nasionalnya.

Kemauan politik yang loyo ini tercermin dari statemen Wapres JK yang memang sejak dari dulu tidak pernah mendukung pembangunan PLTN, dengan alasan-alasan yang sama sekali tidak nalar. Alasan yang dikemukakan sebagaimana dikemukakan di bawah ini, telah terbantahkan.
Wapres Sebut Energi Nuklir sebagai Alternatif Terakhir di Indonesia
KOMPAS.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan bahwa energi nuklir menjadi alternatif terakhir yang akan dikembangkan pemerintah. Menurut Kalla, masih banyak sumber energi alternatif lainnya yang lebih cocok untuk kondisi geologi dan sosiologi Indonesia dibandingkan dengan nuklir.

"Nuklir hanya cocok di Jawa, ini alternatif terakhir. Sehebat-hebatnya Jepang menjaga teknologinya, kena juga dia (bencana karena nuklir). Apalagi kita, yang kadang-kadang sembrono," kata Kalla saat menghadiri seminar Indonesia dan Diversifikasi Energi, di Jakarta, Selasa (14/4/2015).

Kalla mengakui, potensi energi dari nuklir tergolong besar. Namun, saat ini, dunia terbelah dalam menanggapi potensi energi nuklir. Sebagian negara mulai menurunkan produksi energi nuklir, sementara negara lainnya masih giat mengembangkan teknologi tersebut.

Kalla lalu mencontohkan Jepang yang mulai mengurangi pengembangan nuklirnya setelah bencana Fukushima. Ketika itu, gempa hebat mengguncang timur laut Jepang, disusul tsunami 20 meter yang menyapu kawasan permukiman pantai. Gempa dan tsunami kemudian menyebabkan kecelakaan besar pada reaktor atom Fukushima.

"Jepang sudah menurunkan (produksi energi nuklir) akibat Fukushima, AS menurunkan, Jerman dan Perancis jalan terus, sampai pada akhirnya nanti ditemukan teknologi nuklir yang aman," ujar Kalla.

Ia menambahkan, nuklir di Indonesia paling cocok dikembangkan di Pulau Jawa. Namun, Pulau Jawa merupakan bagian dari cincin api (ring of fire) yang rawan gempa.

"Belitung juga cocok, tetapi mau dikasih kabel ke Jawa mahal. Di Kalimantan juga bisa, tetapi enggak ada sumber. Yang banyak di situ, batu bara," sambung dia.

Atas pertimbangan tersebut, Wapres menyampaikan bahwa kebijakan diversifikasi energi akan menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Kebijakan diversifikasi juga harus mengutamakan tiga prinsip, yakni bersih lingkungan, mudah, dan murah.

"Kita ring of fire, beda dengan Perancis. Kalau (memang) bisa, saya katakan bisa (kembangkan nuklir). Korea misalnya, dia tidak punya apa-apa, tidak punya batu bara, hidro, gas, dia pasti ke nuklir. Jadi, disesuaikan dengan kondisi negaranya. Amerika 60 persen energi tetap coal (batu bara). Tidak semua negara memakai nuklir, tetapi mereka sudah mulai mengembangkannya," tutur Kalla.

Di samping itu, menurut dia, pengembangan nuklir di Indonesia tampaknya belum mudah diterima masyarakat. Ia mencontohkan rencana pengembangan nuklir di wilayah Kudus yang ditentang warga.

"Di Jawa, yang bisa dibeli hanya di Kudus. Namun, belum apa-apa, semua sudah demo karena di situ ada pabrik rokok. Jadi, tidak semudah itu, ketika dunia ada, kita ikut. Tidak. (Akan tetapi) dia tidak punya apa-apa, kita punya," ucap Kalla. (Kompas.com, Selasa, 14 April 2015)
Kelimpahan sumberdaya energi yang disebutkan oleh JK masih lebih berupa daftar impian, bukan sesuatu yang sudah riil, apalagi jika dikaitkan dengan keekonomian energi-energi tsb. Hemat saya, JK sama saja dengan Presiden SBY yang selalu mengatakan PLTN adalah alternatif terakhir bagi energi kita. Sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa sediaan energi yang dimiliki RI hanya dimiliki dalam hitungan belasan hari, dan ketergantungan yang luar biasa pada impor minyak dan gas. Keengganan Pemerintah untuk membangun kilang-kilang minyak dan melakukan eksplorasi migas, serta keterbatasan sumber energi dari fossil, merupakan variabel-variabel yang semakin membuat negara ini terpuruk dalam bidang energi. Padahal bisa dikatakan bahwa energi = keamanan nasional. Tanpa ketahanan energi yang memadai dan kokoh, maka keamanan nasional kita juga lumpuh.

Aspek kemauan politik dalam kebijakan energi, khususnya PLTN, itulah yang membedakan RI dengan negeri yang pemimpinnya punya visi seperti Iran. Dibanding Indonesia, cadangan minyak dan gas di negeri para Mullah tsb jelas lebih besar. Tetapi Iran membuat kebijakan energi nasional dengan membangun PLTN karena para pemimpinnya dg didukung rakyatnya melihat ke depan dalam rangka memberikan alternatif energi yang lebih baik dan murah dalam jangka panjang serta bersih secara lingkungan. Bahkan pemimpin negara yang relatif miskin ketimbang RI pun, seperti Bangladesh, memiliki visi yang jauh ke depan dalam soal energi ini. Bangladesh, tanpa banyak cingcong juga telah memulai proses pembangunan PLTN karena melihat alternatif sumberdaya energi ini lebih menjanjikan di masa depan. Pemimpin-pemimpin negara Vietnam, Thailand, dan Malaysia pun tampaknya share dengan visi kebijakan energi demikian.

Indonesia sudah jauh lebih awal melakukan persiapan dan penguasaan Iptek nuklir pada masa Presiden Sukarno, karena beliau juga memiliki visi yang jauh ke depan. Tetapi Indonesia saat ini ketika sedang mengalami ancaman serius dalam masalah ketahanan energi malah memiliki pemimpin-pemimpin yang visinya regressif seperti tercermin dalam statemen JK. Srtatemen bahwa PLTN adalah alternatif terakhir sejatinya hanya retorika kosong belaka yang menutupi ketidak mampuan membawa negeri ini menjadi negara yang berdaulat dan memiliki ketahanan energi selayaknya negara maju. Yang dipikirkan adalah cuma seberapa kepentingan-kepentingan dan keuntungan jangka pendek, cepat, dan tidak membutuhkan kerja keras. Alih-alih membangun kemajuan dan keunggulan bangsa di masa depan. Sungguh sangat malang bangsa dan negara yang para pemimpinnya tidak visioner dan memiliki keberanian membuat terobosan...

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Diperlukan Kemauan Politik Yang Kuat Untuk Membangun PLTN"