Tempo.co
Rieke Diah Pitaloka
|
Namun saya agak mengernyitkan dahi ketika membaca Tempo.co (Selasa, 28/4/15), yang menyatakan bahwa RDP minta maaf kepada kaum pekerja karena merasa bersalah mengajak mereka mendukung (memilih) Presiden Jokowi dalam Pilpres 2014. Alasannya, memang sepintas kedengaran menarik, yaitu pandangannya bahwa Presiden Jokowi "...gagal merealisasikan janji-janji kampanyenya untuk menyejahterakan buruh." Mantan Gubernur DKI itu juga "gagal merealisasikan janji-janji kampanyenya untuk menyejahterakan buruh." Menurutnya, "program Tiga Layak Jokowi (layak upah, layak kerja, dan layak hidup) tidak pernah direalisasikan pemerintah. Dan karenanya ia mengajak para mengajak para pekerja"... menduduki Istana Negara dalam peringatan Hari Buruh Sedunia pada Jumat, 1 Mei 2015."
Kecewa Jokowi, Rieke-PDIP Ajak Buruh Duduki IstanaTentu sangat sah bagi RDP, sebagai politisi dan aktivis yang berjuang bagi para pekerja, untuk mengritisi Presiden Jokowi dan siapapun juga. Hanya saja menurut hemat saya, pandangan RDP sangat dangkal dan cenderung ekonomis dalam nalar maupun etika politik. Secara nalar, RDP adalah bagian dari pemerintah Presiden Jokowi dari partai pendukung utama Presiden Jokowi. Jika RDP melakukan kritik tentu akan lebih elok melalui posisi di DPR dan dalam partai yang langsung bisa memberikan masukan dan usul perubahan, baik strategis maupun taktis-programatis. Tetapi memakai wahana demo buruh dengan aksi menduduki Istana, hemat saya justru hanya manuver lebay, overblown, dan terkesan seperti ada dendam pribadi. Mutu RDP lantas 'tidak jauh-jauh amat' dari politisi PDIP yang juga suka nyinyir terhadap Presiden Jokowi, yaitu Efendi Smbolon (ES). Orang bisa berprasangka, apakah karena RDP dan ES tidak masuk dalam Kabinet lalu melakukan manuver bombastis seperti itu?
TEMPO.CO, Surabaya - Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, mengajak para buruh menduduki Istana Negara dalam peringatan Hari Buruh Sedunia pada Jumat, 1 Mei 2015.
“Saya minta maaf kepada teman-teman karena dulu saya mengajak mencoblos Pak Jokowi (sebagai presiden),” kata Rieke saat konferensi pers dengan beberapa elemen buruh di kantor Lembaga Bantuan Hukum Surabaya, Selasa, 28 April 2015.
Pemeran Oneng dalam tayangan komedi situasi Bajaj Bajuri di Trans TV itu menilai duet Jokowi-JK gagal merealisasikan janji-janji kampanyenya untuk menyejahterakan buruh. Menurut Rieke, program “Tiga Layak Jokowi” (layak upah, layak kerja, dan layak hidup) tidak pernah direalisasikan pemerintah.
Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun berencana memobilisasi massa dari semua daerah untuk turut bergabung dalam peringatan May Day di depan Istana. “Ini penting untuk kita dorong bersama,” ujarnya.
Menurut dia, ada sejumlah isu krusial yang bakal diusung buruh dalam May Day tahun ini. Salah satunya ialah tuntutan pembubaran Pengadilan Hubungan Industrial yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan membentuk mata rantai mafia peradilan perdata.
Rieke mendesak pemerintah segera membubarkan Pengadilan Hubungan Industrial dan diganti menjadi Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Wacana pembubaran Pengadilan Hubungan Industrial, kata dia, telah masuk menjadi salah satu program legislasi nasional (prolegnas) di Komisi IX.
“Isu lainnya yang tak kalah penting adalah kita menolak harga bahan bakar minyak diserahkan ke mekanisme pasar. Karena BBM tentu memiliki efek domino terhadap buruh,” ucapnya. Rieke menolak wacana kenaikan upah buruh menjadi lima tahun sekali. Sambil geleng-geleng kepala, Rieke berujar, “Saya meminjam kata-kata pemerintah dulu: ‘Saya prihatin’." (Tempo.co, Selasa, 28/4/15)
Pemeran Oneng dalam Bajaj Bajuri ini, yang punya latar belakang sarjana Filsafat - tak kurang dengan spesialisasi pemikiran filsuf perempuan Hannah Arendt - itu rasanya tahu persis bahwa politik pengerahan massa tidak selalu tepat dalam semua kondisi. Arendt mengingatkan dalam magnum opus-nya, "The Origins of Totalitarianism" (Asas-muasal Totaliterisme) bagaimana massa dari kelas sosial tertentu (baca = para pekerja) telah digunakan oleh rezim totaliter untuk merebut kekuasaan secara manipulatif atas nama partai, khususnya dengan propaganda-propaganda perjuangan membela kaum tertindas itu. Apakah RDP berencana menggunakan cara-cara tersebut sehingga menjungkirbalikkan pesan sang mentor intelektualnya sendiri yang, notabene, adalah tokoh cendekiawan cum aktivis anti totaliterisme dan fasisme? Wallahua'lam.
Demo buruh adalah hak asasi yang harus dilindungi. Tetapi jika kegiatan tersebut tidak dilandasi dengan argumentasi yang nalar dan sesuai dengan konteksnya, maka ia hanyalah sebuah aksi politisasi yang belum tentu akan efektif dan bermanfaat bagi rakyat umum. Mengatakan bawa Presiden Jokowi gagal melaksanakan janji kampanye, memang mudah. Tetapi seharusnya seorang RDP paham juga apakah waktu yang tersedia (6 bulan) dan kendala yang dihadapi Presiden Jokowi (kemelut DPR, kemacetan politik antara Pemerintah dengan DPR, tekanan-tekanan para sponsor dan juga ketegangan antara Presiden Jokowi dengan Megawati, dll) sudah diperhitungkan sebelum menjatuhkan vonis tsb?
Jika RDP kini mengalami "metamorfosa" dan terdegradasi kualitasnya sebagai calon pemimpin dan negarawati Indonesia masa depan, tentu salah seorang yang paling kecewa adalah saya. Negeri ini sangat membutuhkan sosok-sosok pemikir dan pejuang seperti RDP, setidaknya RDP yang saya kenal sampai saat ini.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "[Fenomena May Day] Kekecewaan Rieke Diah Pitaloka Dan Demo Buruh 1 Mei"