Net
Wapres RI: Jusuf Kalla
|
Namun demikian kewaspadaan juga perlu dipelihara, agar jangan terjadi ibarat "lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya" karena hanya sekedar memindahkan monopoli asing menjadi monopoli perusahaan milik pebisnis nasional. Sinyalemen peneliti Lingkar Studi Perjuangan, Agus Priyanto (AP), semestinya diperhatikan, yaitu agar ada kontrol dan kewaspadaan kepada elit kekuasaan dalam kebijakan migas. AP menengarai bahwa ada sementara kelompok bisnis keluarga yang "hendak mengokohkan cengkeramannya di bisnis energi nasional lewat kebijakan tersebut."
Waspadai JK Group Manfaatkan Kebijakan Energi NasionalSejauhmana kebenaran sinyalemen AP tentang keterlibatan Kalla Group dalam berbagai kebijakan energi nasional, tentu perlu pengkajian lebih lanjut yang lebih mendalam dan transparan, agar tidak dianggap sekedar tudingan dan politisasi. Tetapi yang saya garisbawahi adalah substansi peringatan yang menurut hemat saya memang penting. Sebab kita sebagai bangsa sudah terlalu banyak dikadali oleh elit kekuasaan yang menggunakan posisinya untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok melalui kerjasama jahat (unholy alliance) dengan pebisnis, baik milik sendiri maupun pihak luar. Peringatan Theodore Roosevelt (TR), Presiden AS ke 26, bahwa "tugas utama kenegarawanan... adalah... membongkar aliansi jahat antara pebisnis korup dan para politisi korup" saya kira masih sangat relevan.
RMOL. Rencana pemerintah menghentikan kontrak karya dan kontrak product sharing dengan beberapa perusahaan migas internasional seperti Freeport dan Total EP, serta membangun penampungan (storage) BBM patut diapresiasi.
Namun demikian, rencana tersebut harus tetap dikritis sekaligus diwaspadai terhadap kemungkinan pihak-pihak yang akan memanfaatkan kebijakan tersebut untuk kepentingan kelompok atau kroninya.
Begitu disampaikan peneliti Lingkar Studi Perjuangan, Agus Priyanto saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (6/6).
"Kewaspadaan dan kontrol secara kritis penting dilakukan publik mengingat tidak sedikit pejabat di lingkaran kekuasaan pemerintahan sebelumnya yang memanfaatkan sektor energi, sumber daya dan mineral untuk memenuhi hasrat kerakusannya," papar dia.
Pejabat yang perlu disorot diantaranya adalah Wapres Jusuf Kalla. Ada gelagat Kalla Group yang merupakan perusahaan milik JK, hendak mengokohkan cengkeramannya di bisnis energi nasional lewat kebijakan tersebut.
"Apalagi sudah mulai tercium adanya lingkaran keluarga Wapres JK yang mulai mengambil proyek smelter di daerah Sulawesi Selatan," kata Agus.
Dia mengingatkan tentang kebijakan konversi minyak tanah ke gas LPG pada tahun 2006. Saat itu ide tentang konversi diusulkan JK sebagai wapres. Setelah kebijakannya terbit, produksi gas-gas LPJ dipegang oleh perusahaan-perusahaan JK, yakni Bukaka Group dan Kalla Group. Tindakan ini jelas sangat rentan korupsi karena JK berperan dalam pengambilan keputusan siapa yang akan memproduksi gas LPG-nya.
Lalu kebijakan soal pembangunan proyek transmisi listrik sebesar 500 kilovolt senilai 200 juta dolar AS atau sekarang setara Rp 2,6 triliun yang terdiri dari jaringan transmisi Lot I dari Klaten ke Rawalo (Jawa Tengah), dan Lot II dari Rawalo ke Tasikmalaya (Jawa Tengah). Saat itu, anak perusahaan milik JK, PT Bukaka Teknik Utama menang tender proyek tersebut.
"Karena itu, utuk menghindari atau menutup celah dan peluang dari kelompok-kelompok yang selama ini memanfaatkan kebijakan pemerintah, kita sudah saatnya melakukan koreksi atas kebijakan ketahanan energi nasional yang semangatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan energi nasional tanpa ada kebijakan untuk mewujudkan negara yang berdaulat atas sumber-sumber kekayaan alamnya," demikian Agus. - Disadur dari RMOL.CO, Sabtu, 06 Juni 2015.
Praktik-praktik kolusi antara elit politisi dengan pebisnis jahat telah kita saksikan sendiri akibatnya bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia pada masa Orba. Jangan sampai hal itu terulang lagi dibawah nama rezim yg berbeda.***
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Mewaspadai Aliansi Jahat dalam Kebijakan Energi Nasional"