Selamat Datang - Wellcome

KAA Ke 60 Jangan Hanya Nostalgia dan Pencitraan Belaka

SUARA KAMI - Menyambut Konferensi Asia Afrika (KAA) ke 60 di Bandung, 24 April 2015, bangsa Indonesia sudah barang tentu memiliki berbagai harapan. KAA adalah landmark sejarah bagi bangsa dan NKRI karena telah menjadi semacam penanda bangkitnya negara-negara pasca-kolonial dan sikap mereka (pada saat itu) untuk menolak kecenderungan bipolar antara negara Blok Barat dan Blok Soviet. KAA juga menandai sebuah era baru kerjasama antara negara-negara pasca-kolonial tersebut baik di Asia maupun Afrika dan juga Amerika Latin yang kemudian disebut sebagai negara berkembang atau Negara-negara Selatan. Khusus bagi rakyat Indonesia, KAA adalah pengakuan kepemimpinan negeri ini di bawah Bung Karno dalam percaturan dunia, kendati Indonesia baru berusia satu dasawarsa setelah merdeka dari penjajahan.

KAA Ke 60 Jangan Hanya Nostalgia dan Pencitraan Belaka [Logo Asian African Conference Commeratorium Indonesia 2015]
Net
Logo Asian African Conference Commeratorium Indonesia 2015 / Logo KAA Ke 60

Enampuluh tahun kemudian, KAA digelar dan tentu saja dalam konteks geopolitik, geostrategis, dan geoekonomi yang sangat berbeda. Beberapa negara pendiri Gerakan Non-Blok, telah mampu menyusul negara-negara Barat dalam kemajuan-kemajuan ekonomi, demokrasi, dan Iptek. Tiongkok dan India bisa dikategorikan dalam kelompok yang berhasil melakukan pemajuan ekonomi, dan iptek. Dalam demokrasi, India dan Indonesia berhasil menjadi contoh negara besar yang menerapkan sistem tersebut. Negara seperti Mesir, masih belum berhasil dalam bidang politik dan ekonomi dan makin terperosok dalam dikatatorisme. Dan tentu saja banyak lagi negara-negara yang masuk dalam Non-Blok yang masih berkutat dalam keterbelakangan, diktator, dan ketertindasan.

Bagi rakyat Indonesia, peringatan KAA ke 60, bisa saja menjadi arena pencitraan Presiden Jokowi (PJ) dan hanya semacam nostalgia kejayaan masa lampau. Ini terjadi jika Indonesia hanya mengulang-ulang sukses BK dalam retorika, tetapi gagal melakukan kontekstualisasi melalui hasil-hasil yang kongkrit dan bermanfaat bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika khususnya, dan dunia umumnya. Dalam konteks geopolitik dan geostrategis yang multipolar saat ini, KAA mesti melakukan reinterpretasi thd makna Non-Blok, misalnya.

Munculnya kekuatan ekonomi baru seperti Tiongkok dan India serta negara-negara di kawasan ASEAN harus bisa dikapitalisasi oleh KAA sebagai sebuah landasan pemberdayaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika ke depan. Ancaman keamanan internasional seperti terorisme dan radikalisme yang menggunakan kedok agama pun menjadi bagian yang sangat penting utk diperhatikan oleh para pemimpin KAA.
KAA Ke-60 Sukses, 3 Hal Ini Bisa Bikin Geger Eropa
TEMPO.CO: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai ada tiga hal yang harus disusun dengan baik oleh pemimpin negara Asia-Afrika saat konferensi di Indonesia pada 19-24 April 2015. "Jika berhasil bisa membuat geger masyarakat Eropa dan global," ujar Hikmahanto saat berbicara via telepon, Ahad, 19 April 2015.

Menurut Hikmahanto, hal pertama yang harus dilakukan, negara Asia-Afrika harus berembuk bersama menyusun nilai-nilai universal yang sesuai dengan dinamika global saat ini. Dahulu, KAA pertama di Bandung pada 1955 dianggap berhasil lantaran para pemimpinnya sukses menelurkan gagasan yang diterima warga dunia, yaitu menghentikan kolonialisasi.

Sementara, saat ini sebagian besar nilai universal yang diakui masyarakat dunia berasal dari Eropa. Padahal, menurut Hikmahanto, nilai-nilai universal baru dibutuhkan oleh masyarakat global saat ini, karena dapat berfungsi sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan konflik antar negara.

Yang kedua, kata Hikmahanto, negara Asia-Afrika harus menyusun konsep melepaskan ketergantungan ekonomi terhadap negara-negara Barat. Mantan Dekan Fakultas Hukum UI ini mencontohkan negara Eropa yang berhasil maju setelah mendapatkan bantuan finansial dari Bank Dunia selepas Perang Dunia Kedua.

Adapun saat ini, kata Hikmahanto, sebagian besar negara Asia-Afrika masih tergantung pada bantuan Bank Dunia. "Padahal sudah berpuluh-puluh tahun semenjak Bank Dunia mengucurkan bantuan finansial terhadap negara-negara ini," ujarnya.

Terakhir, negara Asia-Afrika harus berkomitmen menyelesaikan konflik di wilayah mereka tanpa campur tangan negara Barat. Meski dirasa sulit, Hikmahanto menilai upaya ini masih bisa ditempuh jika ketergantungan ekonomi negara Asia-Afrika terhadap barat tidak terlampau erat. [Tempo.co, 20 April 2015]
Walhasil, rakyat Indonesia menunggu dan akan menilai apakah gawe yang menghabiskan Rp 200 miliar ini akan memberikan manfaat kongkrit atau hanya nostaligia dan pencitraan belaka. SELAMAT DAN SUKSES KAA KE 60!!

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "KAA Ke 60 Jangan Hanya Nostalgia dan Pencitraan Belaka"