Net
Komjen Pol. Budi Gunawan
|
Sistem demokrasi memungkinkan dan bahkan mewajibkan adanya pengawasan publik terhadap pemerintahan dan kebijakan yang diambil sejauh menggunakan cara-cara yang telah diatur oleh aturan perundangan. Dengan demikian, hak prerogatif yang dimiliki Presiden pun sesungguhnya bukan tak terbatas, dalam arti bisa digunakan dengan sewenang-wenang. Presiden tetap mempunyai kewajiban legal dan moral untuk memperhatikan masukan dan pandangan publik dalam memilih pejabat seperti Kapolri yang sangat strategis dan berdampak sangat besar bagi NKRI.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta dapat memilih calon Kepala Polri yang profesional dan transparan.
Begitu disampaikan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti dalam jumpa pers Koalisi Masyarakat Sipil di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta (Jumat, 9/1).
"Calon yang dipilih Jokowi harus bisa membuat polisi menjadi transparan. Jokowi juga harus minta agar dapat menyelesaikan kasus penegakan hukum. Jangan kasus kecil untuk mencari sensasi dan menutup kasus besar. Kemudian juga dapat membuat polisi menjadi profesional," bebernya.
Menurut Ray, kriteria tersebut merupakan pekerjaan rumah besar Presiden Jokowi untuk memilih pengganti Jenderal Sutarman. Dia juga meminta agar pemilihan calon Kapolri melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Ini pekerjaan berat Jokowi untuk memilih calon Kapolri. Kita semua berkepentingan agar calonnya diselidiki KPK, PPATK dan Ditjen Pajak," jelasnya. (Dikutip dari Rmol.Co, "Jokowi Butuh Kapolri Profesional dan Transparan", Sabtu, 10 Januari 2015)
Dalam kasus pengangkatan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Pol. Sutarman (Sn), Presiden telah menggunakan hak konstitusionalnya, dan publik pun menggunakan haknya untuk menilai kualitas, kapasitas, kekuatan dan kelemahan beliau sebagai petinggi nomor satu di Polri. Salah satu yang kini menjadi bahan perbincangan adalah fakta bahwa Budi Gunawan termasuk pejabat Polri yang namanya pernah disangkutpautkan dalam apa yang disebut dengan "rekening gendut". Fakta lain adalah kedekatan Budi Gunawan dengan mantan Presiden Megawati saat beliau menjadi ajudan Presiden dan setelah itu, terutama ketika jelang Pilpres 2014. Masih ada lagi dugaan (bukan fakta) bahwa nama Budi Gunawan termasuk yang dipelototi oleh KPK saat Presiden Jokowi menyerahkan daftar nama calon anggota Kabinet Kerja beberapa bulan lalu. Fakta dan dugaan itulah yang kemudian mendasari kritik dan penolakan sebagian publik terhadap Budi Gunawan. (Baca: Terkuaknya "Rapor Merah" Komjen Pol Budi Gunawan yang disampaikan oleh mantan Ketua PPATK)
Adalah tugas pihak Pemerintah dan Polri serta terutama Budi Gunawan sendiri nanti untuk memberikan klarifikasi terhadap kritik dan penolakan tsb. Sejauh bahwa klarifikasi tsb telah cukup menghapus keraguan dan kecurigaan dengan bukti-bukti yang kuat, maka saya kira pada akhirnya masalah tsb akan dapat diselesaikan. Bahwa masih ada yang tidak sependapat, itu wajar saja, karena memang demikianlah dinamika dalam demokrasi. Asalkan perbedaan tsb tidak mengarah kepada fitnah dan kerusakan, menurut saya tidak akan berbahaya dan bahkan bisa menambah masukan bagi Budi Gunawan dalam bertugas sebagai Kapolri yang lebih baik ketimbang yang digantikannya.
Namun jika Pemerintah dan Polri serta Budi Gunawan tidak memberikan klarifikasi yang memadai, maka persoalannya menjadi berbeda. Opini negatif yang semula mungkin hanya ada di Pusat, bisa meruyak sampai ke bawah dan menciptakan moral hazard bagi ajaran Polri. Padahal sudah diketahui umum Polri pada beberapa tahun terakhir bukanlah Polri yang mendapat kepercayaan kuat dan tinggi dari rakyat. Justru sebaliknya, Kapolri sebelum BG cenderung gagal menampilkan dan menaikkan kepercayaan publik serta malah membuat Polri sering menjadi target kritik serta kekecewaan masyarakat. Reformasi dalam Polri masih dianggap jauh dari tuntas atau bahkan mengalami kemunduran ketika kasus rekening gendut dan korupsi lain sering menyeret oknum-oknum Polri. Belum lagi penanganan masalah-masalah keamanan dan ketertiban umum yang terkait kekerasan serta konflik-konflik horizontal yang sering diwarnai dengan tudingan adanya pembiaran oleh Polri.
Presiden Jokowi juga bertaruh besar dari sisi politik jika pengangkatan Budi Gunawan dianggap hanya merupakan sebuah hadiah jabatan kepada orang dekat mantan Presiden Megawati. Setidaknya hal itu akan dibaca sebagai bukti bahwa Presiden Jokowi secara politik masih didikte oleh boss PDIP tsb, dan bahwa keinginan untuk menciptakan sebuah Kabinet yang bebas dari tekanan parpol akan dipertanyakan. Apalagi, jika masalah rekening gendut tidak bisa dijelaskan secara memuaskan (secara hukum), maka Budi Gunawan justru bisa menjadi semacam 'bom waktu' bagi kredibilitas Presiden Jokowi. Itulah sebabnya, klarifikasi publik sangat diperlukan agar hak prerogatif Presiden juga memiliki legitimasi legal dan formal selain politik.
Selamat untuk Pak Budi Gunawan sebagai Kapolri baru!!
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Pengangkatan Kapolri Baru Antara Prerogatif dan Kredibilitas"