Net
Margarito Kamis
|
Keputusan Presiden Joko Widodo menunda pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri dan mengangkat Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas (Plt) Kapolri setelah memberhentikan dengan hormat Jenderal Sutarman, dinilai melanggar hukum ketatanegaraan Indonesia.
Demikian disampaikan pakar uukum tata negara Margarito Kamis dalam diskusi 'Lewat Budi Gunawan KPK Ganggu Hak Preogratif Presiden?' di Tebet, Jakarta, Minggu (18/1). [Dikutip dari RMOL.CO, Senin, 19 Januari 2015]
Saya menolak pandangan MK tsb dengan argumen di bawah ini:
Sebelumnya, saya harus mengatakan bahwa saya bukanlah ahli hukum tatanegara atau hukum apapun. Tetapi saya ingin mengomentarai omongan pakar hukum tatanegara ini secara awam saja dan mungkin ditopang oleh pemahaman saya sebagai pengamat politik. Saya kira sah jika dimensi politik dilibatkan di sini karena: 1) soal pemakzulan Presiden, kendati merupakan tindakan yang berdasarkan hukum, adalah juga tindakan politik sehingga faktor politik penting untuk dimasukkan; 2) saya melihat bahwa pandangan hukum MK pun bisa jadi punya bias (pemihakan) politik tertentu, kendati ia bisa saja mengklaim bahwa argumentasinya didasari oleh kepakarannya di bidang hukum tatanegara.
Argumen Margarito Kamis bahwa Presiden Jokowi "mempermainkan proses konstitusional di DPR", menurut hemat saya, sangat ambigu dan kental dengan konotasi politis. Ia lebih menunjukkan sebuah penafsiran hukum yang partisan, bukan alasan yang bersumber dari norma hukum yang jelas dan konkret. Kalaupun MK menyebut UU No. 2/2002 sebagai salah satu landasan norma hukum, itupun masih sangat debatable. Misalnya ia menyatakan persetujuan oleh DPR terhadap cakapolri yang diajukan Presiden itu "imperatif dan mengikat." Apakah benar bahwa HASIL pertimbangan DPR (menolak atau setuju) merupakan syarat legal formal yg mutlak dan mengikat Presiden, ataukah yang mutlak hanyalah PROSES pertimbangan oleh DPR sebelum calon yang ditunjuk Presiden itu dilantik. Dengan lain perkataan, tidak ada keharusan bahwa seandainya DPR tidak setuju terhadap si cakapolri, lalu Presiden harus membatalkan pelantikan. Atau jika DPR setuju maka cakapolri mutlak harus dilantik! Proses pertimbangan di DPR adalah proses politik yang secara konstitusional harus dilewati Presiden dalam pencalonan tsb. Hak prerogatif Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Kapolri tetap dimiliki setelah proses politik di DPR berjalan. Walhasil, Presiden bisa saja membatalkan atau menunda pelantikan cakapolri pasca hearing di DPR jika beliau memiliki alasan kuat.
Oleh sebab itu prospek pemakzulan Presiden Jokowi yang diusulkan oleh MK pun akan sangat tergantung apakah tafsir hukum yang dilontarkan itu cukup valid dan, pada gilirannya, akan mampu digunakan untuk memobilisasi dukungan politik di DPR. Harus diingat bahwa proses politik dalam pemakzulan merupakan ihwal tersendiri yang secara prosedural maupun substansial tidak sederhana. Dari sisi inilah saya menganggap bahwa pandangan MK dari segi hukum tidak cukup valid, dan secara politis sulit untuk bisa digunakan memobilisasi dukungan oleh kekuatan oposisi (KMP) vis-a-vis Presiden Jokowi dan parpol pendukungnya. Hemat saya, keputusan menunda BG sebagai Kapolri telah memenuhi syarat legal, politik, dan moral. Yang masih ditunggu hanyalah apakah pada akhirnya Presiden Jokowi memutuskan menunjuk dan melantik cakapolri baru sama sekali, atau akhirnya "balik kucing" melantik BG.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Memakzulkan Presiden Pasca Kegaduhan Cakapolri"