Selamat Datang - Wellcome

Fenomena Hukuman Mati: Dua Jalur Hukuman Mati

SUARA KAMI - Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

Fenomena Hukuman Mati: Dua Jalur Hukuman Mati

Pada tahun 2005, setidaknya 2.148 orang dieksekusi di 22 negara, termasuk Indonesia. Dari data tersebut 94% praktik hukuman mati hanya dilakukan di beberapa negara, misalnya: Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD '45, pasal 28I ayat 1, menyebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun", tapi peraturan perundang-undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati.

Kelompok pendukung hukuman mati beranggapan bahwa bukan hanya pembunuh saja yang punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Masyarakat luas juga punya hak untuk hidup dan tidak disiksa. Untuk menjaga hak hidup masyarakat, maka pelanggaran terhadap hak tersebut patut dihukum mati.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk adanya vonis mati. (Wikipedia)

Dua Jalur Hukuman Mati
Penulis: Arie Saptaji
Arie Saptaji
Penulis
Arie Saptaji
Membicarakan kontroversi hukuman mati, saya teringat Dead Man Walking, kisah nyata Suster Helen Prejean yang difilmkan secara memikat oleh Tim Robbins.

Suster Helen Prejean (diperankan secara menawan oleh Susan Sarandon) seorang biarawati yang mengabdi di sebuah kawasan miskin di pusat kota Louisiana. Suatu hari ia menerima surat dari seorang terpidana mati di Penjara Angola, New Orlean, memintanya berkunjung. Dan ia pun berkunjung – barangkali tanpa menyadari bahwa kunjungan itu akan merupakan permulaan dari sebuah ziarah iman dan belas kasihan yang mengubah jalan hidupnya.

Si terpidana, bernama Matthew Poncelet (dimainkan tak kalah bagus oleh Sean Penn), didakwa, bersama seorang pria lain, terlibat dalam pemerkosaan dan pembunuhan atas dua remaja. Seperti Suster Helen, kita pertama kali melihatnya dari balik jeruji antara pengunjung dan terpidana, sehingga wajahnya terkesan seperti kepingan-kepingan jigsaw. Seseorang menyebut penampilannya sebagai paduan antara Elvis dan Mephistopheles. Bila berpapasan dengannya di jalan, kemungkinan besar kita akan memilih mengindarinya. Dan pria itu meminta Suster Helen menolongnya mengajukan permohonan pembebasan.

Dari situ, Suster Helen menelusuri jalan yang penuh dengan kerumitan, pertentangan dan juga kebenaran-kebenaran pelik. Tidak ada jawaban gampangan untuk isu yang kontroversial dan kompleks ini.

Kehebatan film ini terletak pada keberhasilan sutradara dalam memberi ruang bagi pihak-pihak yang berlawanan untuk menumpahkan kegusaran dan kepedihannya masing-masing. Saya bisa meraba pandangan sutradara terhadap hukuman mati, namun ia tidak mencekokkannya kepada penonton, melainkan tetap memberikan kelapangan untuk menimbang-nimbang.

Ia tidak berusaha melunakkan gambaran Matthew, atau membela tindakannya, agar mengundang simpati kita. Namun, dengan menggambarkan kondisi keluarganya yang miskin dan latar belakangnya, paling tidak kita diajak untuk memahami potensi kebiadaban yang mungkin lahir dari setiap orang – dari suatu perbuatan yang semula hanya seperti keisengan. Ia juga menunjukkan potensi pembalasan dendam, tanpa membikin gambaran konyol tentang keluarga korban sekadar sebagai penuntut yang haus darah. Hanya orang-orang berhati beku yang tak akan tergugah oleh kepiluan mereka. Masing-masing pihak tampil sebagai manusia-manusia lumrah, yang kini mesti bergumul menanggapi sebuah tragedi pelik yang menimpa mereka.

Suster Helen, yang mesti berjungkat-jungkit di antara kedua belah pihak, dipuji Roger Ebert sebagai salah satu dari sedikit sosok yang benar-benar saleh yang pernah disaksikannya dalam sebuah film. Dalam suatu kesempatan biarawati ini mengatakan, “Saya hanya berusaha mengikuti teladan Yesus, yang mengatakan bahwa setiap orang itu lebih berharga daripada tindakannya yang terburuk.”

Kekristenan mengajarkan bahwa semua dosa bisa diampuni, dan bahwa tidak ada pendosa yang terlalu bejat sampai tidak mungkin lagi terjangkau oleh kasih Tuhan. Suster Helen mempercayainya, dengan segenap hati. Namun, ia tidak mendesakkan solusi keagamaan atau hukum-hukum rohani kepada Matthew. Ia hanya mendorong Matthew untuk menyambut kematiannya dalam kedaaan berdamai dengan dirinya dan dengan kejahatannya. Ia mengundang Matthew untuk menghamburkan diri ke dalam rengkuhan rahmat Tuhan.

Jalur Hukum
Setelah “diguncangkan” oleh Dead Man Walking, saya kian menyadari kompleksitas hukuman mati. Film ini memang tidak mengubah pandangan dasar saya terhadap hukuman mati. Namun, seperti tertera di atas, ziarah Suster Helen telah menolong saya mengendapkan pandangan tersebut. Dengan demikian, saya bisa memandang lebih jernih dan memahami argumentasi pihak-pihak yang menentang hukuman mati.

Dalam ulasannya atas film ini, James Berardinelli melontarkan pertanyaan-pertanyaan menggugah. Apakah Matthew akan dieksekusi karena ia terlalu miskin untuk membayar pengacara yang piawai? Apakah ada perbedaan moral antara pembunuhan oleh Negara dan pembunuhan oleh individu? Mestikah keadilan dilandasi oleh prinsip “mata ganti mata” atau prinsip "berilah juga kepadanya pipi kirimu"?

Jawaban atas pertanyaan pertama: Bisa jadi. Sistem hukum buatan manusia bagaimanapun rentan dan rawan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan. Para praktisi hukum dan mafia pengadilan akan lebih canggih memaparkannya. Yang jelas, argumentasi ini bukanlah dalih yang sahih untuk menentang hukuman mati. Argumentasi ini lebih merupakan seruan bagi reformasi sistem hukum, agar benar-benar mencerminkan keadilan. (Sanggahan ini juga dapat dialamatkan bagi argumentasi ketidakmanusiawian pelaksanaan hukuman mati.)

Pertanyaan kedua dan ketiga, menurut saya, berkaitan. Matthew Poncelet sempat mengakui bahwa pembunuhan itu salah, entah pelakunya orang per orang seperti dirinya, entah pelakunya negara. Saya berbeda pendapat. Prinsip "berilah juga kepadanya pipi kirimu" adalah petunjuk bagi orang per orang, anjuran untuk tidak main hakim sendiri, mengambil alih peran dan tugas negara.

Negara, sebaliknya, berwenang dan bertanggung jawab menegakkan hukum dan keadilan. Hukum adalah bahasa yang sepatutnya tegas, dingin, tanpa kompromi. Hukum bergerak menurut prinsip “mata ganti mata” (lex talionis). Tujuan hukum adalah penghukuman yang seadil-adilnya terhadap orang-orang mengancam atau melanggar kemaslahatan bersama. Dalam tataran ini, hukuman mati tetap perlu diberi ruang.

Mereka yang menentang hukuman mati antara lain menunjukkan ketidakefektifan hukuman mati sebagai bentuk penjeraan. Argumentasi ini sebenarnya lumayan susah dibuktikan karena faktor-faktor yang memicu terjadinya kejahatan bisa sangat kompleks, bukan sekadar ada atau tidaknya ancaman hukuman mati. Penyair Hyman Barshay melukiskannya demikian, “Hukuman mati adalah suatu peringatan, seperti mercusuar yang memancarkan sinarnya ke laut lepas. Kita mendengar kabar-kabar tentang kapal yang karam, namun kita tidak mendengar kabar tentang kapal-kapal yang berhasil dituntun dengan selamat oleh mercusuar itu. Kita tidak memiliki bukti tentang jumlah kapal yang diselamatkannya, namun toh kita tidak meruntuhkan mercusuar itu.”

Kalaupun klaim ketidakefektifan itu memang terbukti, tujuan utama hukuman mati memang bukan penjeraan, melainkan penghukuman. Hukuman mati sebagai penghukuman kerap dianggap bertabrakan dengan prinsip penghormatan atas kesucian hidup (sanctity of life). Namun, bila ditilik dari sudut lain, justru karena penghormatan atas kesucian hidup inilah, justru karena manusia adalah sosok yang rasional, bermartabat dan bermoral, hukuman mati perlu ditegakkan. Ganjil, kalau kita begitu membela kehidupan si pelaku sampai mengabaikan kehidupan si korban yang telah dilenyapkan secara tidak manusiawi. Kita patut meminta pertanggungjawaban si pelaku atas pilihan moralnya. Bila ia memilih melakukan kejahatan kapital (capital offense), hukuman mati (capital punishment) adalah satu-satunya retribusi yang setimpal.

Jalur Rahmat
Telah disebut di atas, individu berada dalam tataran moral yang berbeda dengan negara. Orang per orang dipanggil untuk tidak menghidupkan atmosfir pembalasan dendam dan sistem main hakim sendiri. Bila hendak menuntut keadilan, mereka diminta menempuhnya melalui koridor hukum yang ada. Karenanya, reformasi sistem hukum nasional menuntut adanya penghukuman yang adil, tegas dan tanpa kompromi terhadap para pelaku kejahatan, sebagai sebentuk perlindungan terhadap warga yang tidak bersalah.

Namun, negara juga bisa memfasilitasi bila warga berniat menempuh jalur lain, jalur yang bergerak menurut prinsip "berilah juga kepadanya pipi kirimu" tadi. Kita bisa menyebutnya sebagai jalur rahmat dan pengampunan. Negara hanya perlu memfasilitasinya, tidak menuangkannya dalam pasal-pasal perundang-undangan yang bersifat mengikat, karena alternatif ini hanya bisa diambil berdasarkan semangat cinta kasih dan kesadaran hati nurani masing-masing individu (keluarga korban).

Jalur ini pernah ditempuh secara efektif oleh bangsa Afrika Selatan atas prakarsa Nelson Mandela. Seperti kita ketahui, Mandela adalah presiden pertama Afrika Selatan yang terpilih melalui pemilu demokratis tahun 1994. Negeri itu sebelumnya koyak-moyak oleh apartheid, dan ia sendiri mesti meringkuk di penjara selama 27 tahun akibat politik rasial itu. Kini ia bertekad untuk membangun Afrika Selatan yang baru. Ia mengawalinya dengan cara yang amat khas: ia meminta sipir penjaranya ikut naik ke panggung pada saat pelantikannya.

Selama memimpin negeri itu, ia antara lain membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC), dengan ketua Uskup Agung Desmond Tutu. Mandela berusaha mengelakkan pola balas dendam yang dilihatnya di sekian banyak negara, yang terjadi sewaktu ras atau suku yang semula tertindas mengambil alih pemerintahan.

Selama dua setengah tahun berikutnya, penduduk Afrika Selatan menyimak berbagai laporan kekejaman melalui pemeriksaan TRC. Peraturannya sederhana: bila seorang polisi atau perwira kulit putih secara sukarela menemui pendakwanya, mengakui kejahatannya, dan mengakui sepenuhnya kesalahannya, ia tidak akan diadili dan dihukum untuk kejahatan tersebut. Penganut garis keras mencela pendekatan ini dan menganggapnya tidak adil karena melepaskan si penjahat begitu saja. Namun, Mandela bersikukuh bahwa negeri itu jauh lebih memerlukan kesembuhan daripada keadilan.

Sebuah kisah mengharukan dituturkan Philip Yancey dalam buku Rumours of Another World (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003). Pada sebuah pemeriksaan, seorang polisi bernama van der Broek mengakui perilaku kejinya. Ia dan beberapa perwira lain menembak seorang anak laki-laki delapan tahun dan membakar tubuh anak itu seperti sate untuk menghilangkan bukti. Delapan tahun kemudian van de Broek kembali ke rumah yang sama dan menangkap ayah si anak. Isterinya dipaksa menyaksikan para polisi mengikat suaminya pada tumpukan kayu, mengguyurkan bensin ke tubuhnya, dan menyalakannya.

Ruang pemeriksaan menjadi hening saat seorang perempuan lansia, yang telah kehilangan anak dan kemudian suaminya, diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. "Apa yang Anda inginkan dari Tn. van de Broek?" tanya hakim. Ibu itu menjawab, ia ingin van der Broek pergi ke tempat mereka dulu membakar tubuh suaminya dan mengumpulkan abunya, agar ia dapat melakukan pemakaman yang layak. Dengan kepala tertunduk, polisi itu mengangguk.

Kemudian ibu itu mengajukan permintaan tambahan, "Tn. van der Broek telah mengambil seluruh keluarga saya, dan saya masih memiliki banyak kasih yang ingin saya bagikan. Dua kali sebulan, saya ingin dia datang ke kampung saya dan menghabiskan waktu satu hari bersama saya, agar saya dapat menjadi ibu baginya. Dan saya ingin Tn. van der Broek tahu bahwa ia telah diampuni oleh Tuhan, dan bahwa saya juga mengampuninya. Saya ingin memeluknya, sehingga ia dapat mengetahui bahwa pengampunan saya ini sungguh-sungguh."

Secara spontan, beberapa orang di ruang itu mulai menyanyikan Amazing Grace saat perempuan lansia itu melangkah menuju tempat saksi, namun van der Broek tidak mendengarkan nyanyian itu. Ia terjatuh tak sadarkan diri.

Nelson Mandela menyadari bahwa sewaktu kejahatan terjadi, hanya satu tanggapan yang dapat mengalahkannya. Pembalasan dendam hanya akan melanggengkan kejahatan itu. Keadilan hanya akan menghukumnya. Kejahatan hanya akan dikalahkan oleh kebaikan bila pihak yang disakiti bersedia menyerapnya, mengampuninya, dan menolak untuk membiarkannya menyebar lebih jauh.

Jadi, dalam wacana hukuman mati, terbentang dua jalur alternatif: jalur hukum atau jalur rahmat. Keduanya, meminjam kata-kata Chairil Anwar, “harus dicatet, keduanya dapat tempat”. ***

Sumber: Catatan Arie Saptaji

0 Response to "Fenomena Hukuman Mati: Dua Jalur Hukuman Mati"