Satgas Antikorupsi yang Digagas KPK, Polri, dan Kejagung Bersifat "Ad Hoc"Saya melihat pembentukan satgas gabungan ini tak ada urgensi dan manfaatnya, kecuali sebagai cara "ad hoc" KPK dan Polri untuk mendinginkan suasana konflik dan sebuah kerja humas (PR work) elite mereka. Sebab, jika sat gas gabungan ini memang serius, justru ia akan melemahkan KPK yang sudah memiliki tupoksi yang spesifik sebagaimana diatur dalam UU tentang KPK. Kalau satgas ini masih ingin lebih spesifik, saya khawatir malah disfungsional dan rentan disalah gunakan untuk meredam dan/atau menyamarkan kasusu tipikor yang magnitude (politik, sosial dan psikologis) nya besar. Ketidakjelasan terminologi "kasus khusus" tsb, seperti kebanyakan istilah kabur di negeri ini, adalah sebuah wilayah tak bertuan (no man's land) yang ujung-ujungnya akan digunakan seperti tempat pembuangan "sampah" atau tempat persembunyian serta konspirasi antara para koruptor, politisi, dan penegak hukum hitam. Jika satgasgab ini benar-benar terbentuk, maka bukan saja kasus-kasus korupsi kakap akan banyak yang menguap, tetapi, dan yang lebih fatal lagi, adalah akselerasi proses pelemahan KPK akan kian naik!
KOMPAS.com — Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengatakan, satuan tugas antikorupsi yang dibentuk KPK bersama dengan Polri dan Kejaksaan Agung bersifat ad hoc atau sementara. Satgas tersebut hanya untuk menangani satu kasus khusus dan tidak berlaku secara permanen.
"Satgas ini bersifat ad hoc. Hanya untuk menangani sebuah kasus secara bersama-sama, sesudah kasus itu diserahkan ke pengadilan maka dianggap selesai dan satgasnya juga bubar," ujar Ruki melalui pesan singkat, Senin (4/5/2015) malam.
Ruki mengatakan, satgas dibentuk sebagai bagian dari koordinasi supervisi KPK dengan Polri dan Kejagung dalam upaya memberantas korupsi. Satgas tersebut nantinya akan menangani kasus rumit yang membutuhkan kerja sama trisula penegak hukum itu.
"Kasusnya akan dipilih kasus yang dianggap rumit, complicated, dan diprediksi akan banyak mengalami hambatan teknis dan nonteknis yang memerlukan terobosan dan kerja bareng," kata Ruki.
Menurut Ruki, eksistensi satgas antikorupsi tidak akan mengganggu proses hukum terhadap kasus-kasus yang tengah ditangani oleh KPK, Polri, maupun Kejagung.
Hal senada diungkapkan pimpinan sementara KPK Indriyanto Seno Adji. Indriyanto mengatakan, kerja sama antara KPK, Polri, dan Kejagung terkait pemberantasan korupsi bukan hanya sekali dilakukan.
"Tujuannya adalah sebagai bentuk sinergitas kelembagaan penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang obyek perbuatan dan subyek pelakunya dianggap perlu penanganan bersama," kata Indriyanto.
Menurut Indriyanto, fungsi satgas berbeda dengan korsup yang kewenangannya tersentral pada KPK. Ia mengatakan, satgas perlu dibentuk jika Polri dan Kejagung mengalami kendala dalam menangani perkara korupsi.
"Misal levelitas Pengadilan Negeri yang undang-undangnya tidak terjangkau Polri atau Kejaksaan, maka KPK akan bersama menangani kasusnya," ujar Indriyanto.
Pada Senin siang, para pimpinan KPK, Polri, dan Kejagung melakukan pertemuan tertutup di Kejagung. Hadir dalam pertemuan tersebut Taufiequrachman Ruki dan Johan Budi SP, Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, serta Jaksa Agung HM Prasetyo.
Prasetyo mengatakan, dalam pertemuan itu, mereka membahas kerja sama antar-lembaga, yakni KPK, Kejagung, dan Polri, dalam menangani kasus tindak pidana korupsi. Sementara itu, Johan mengatakan, pertemuan ini akan rutin dilakukan. Rapat koordinasi ini akan digelar bergilir mulai dari Kejaksaan Agung, KPK, dan Mabes Polri.
"Rencananya nanti akan dibentuk satgas di antara tiga lembaga ini. Selain itu, kami juga fokus membicarakan terkait korupsi di sumber daya alam," katanya. - Kompas.com, Selasa, 5 Mei 2015.
Kepemimpinan TR sejak awal memang sudah menuai kritik, termasuk saya sendiri tidak melihat ia akan memiliki semangat atau ghirah memproteksi lembaga tsb dari proses pelemahan yang sistematik, massif, dan terstruktur. Penunjukan TR adalah hasil kompromi politik antara Istana (Presiden Jokowi) dengan politisi Senayan, parpol-parpol, dan para sponsor yang gerah dengan kiprah KPK karena mengancam kepentingan-kepentingan mereka. Presiden Jokowi barangkali tertarik pada sisi pragmatis dari pengangkatan TR, yang notabene adalah mantan Jenderal Polisi, yaitu untuk meredam (defuse) kemarahan elit Polri, para politisi di Senayan, dan parpol pendukung beliau setelah batalnya pencakapolrian Komjen Pol. Budi Gunawan (BG). Dari sisi kepentingan pragmatis bisa jadi Presiden Jokowi ada benarnya; sebab KPK kemudian terlindungi keberadaannya dan bisa aktif kembali kendati tidak seperti sebelumnya. Sayangnya, karena TR adalah hasil sebuah kompromi politis, maka implikasinya bagi KPK tetap merugikan dalam jangka panjang. Sebab proses pelemahan sistematis sejatinya masih jalan sepeerti biasa, sebagaimana dapat dilihat dari kasus-kasus kriminalisasi pimpinan dan aparatnya.
Kini setelah publik, dan mungkin bahkan Presiden Jokowi pribadi, berang dengan sepak terjang Polri yang memberantakkan hasil kompromi politik tersebut, dibuatlah solusi 'ad hoc' bernama satgas gabungan KPK, Polri, dan Kejagung yang masih belum jelas dan mungkin berpotensi kian mengaburkan tupoksi KPK itu. Solusi ad hoc ini ibarat mengobati penyakit typhus hanya dengan memberi obat gosok.***
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Satgas Gabungan KPK, Polri dan Kejaksaan Buat Apa?"