Ilustrasi (Foto: Net)
|
Sejumlah perumpamaan muncul memwakili wajah sepak bola Indonesia saat ini.
Penyebabnya? Berita prestasi cabang olah raga paling populer ini seolah di wakili oleh konflik antara PSSI dengan Menpora.
Degup jantung masyarakat Indonesia dibuat berdetak keras bak wahana permainan roller coaster menanti setiap ucapan dan keputusan kedua pihak yang berseteru.
Siapa yang salah, siapa yang benar? Jawaban atas pertanyaan ini kembali menghadapkan kita kenyataan bahwa masyarakat Indonesia lagi-lagi terpecah pada sikap dan pemahamannya.
Dalam perbincangan dengan sejumlah kenalan, adu argumen di antara kami berjalan dengan nyaman.
Bila saya suka minum kopi, saya tak perlu memaksakan seseorang penggemar minum teh untuk beralih menjadi penikmt kopi, bukan?
Tapi, saya akan menceritakan bagaimana enaknya kopi atau manfaat minuman tersebut yang saya pahami dan membuat saya rutin menikmatinya.
"Bung, buat apa kompetisi digelar tapi tim nasional tak kunjung berprestasi? Mau sampai kapan kita menunggu?"
Sikap ini disampaikan ketika saya ikut meramaikan topik pembicaraan saat ini, yaitu menyuarakan isi hati pemain sepak bola di Tanah Air yang butuh panggung untuk beraksi.
Dengan tagar #KamiRinduBermainBola, saya memahami pemeritaan di Harian BOLA yang menyoroti keresahan para pemain yang terancam tak lagi bisa memberikan keluarganya kebutuhan hidup yang diperlukan.
"Bung, Anda tidak mendukung Mempora yang membekukan PSSI dan melarang kompetisi Liga SUper Indonesia?"
Nah, ada lagi suara dari masyarakat yang mengambil kesimpulan terhadap kepedulian saya akan nasib pelaku sepakbola di Tanah Air.
Berpihak kepada korban bukan pelaku komflik! Kenapa kita sulit melihat dari sisi korban atas situasi di Tanah Air saat ini?
Saya berpihak kepada korban politik ketika orang-orang besar di negeri ini menghabiskan waktu dan biaya hanya bidang politik.
Bukannya menelurkan kebijakan yang membantu menyejahterakan masyarakat, sekumpulan elite politik hanya memikirkan bagaimana mencapai tujuan kelompok mereka.
Tentu ketika ditanya soal kesejahteraan masyarakat, mereka dengan cepat mengenakan topeng yang telah disiapkan. Wajah palsu bernama wakil rakyat.
***
Semudah itukah kita melihat persoalan sepak bola di negeri ini? Apakah tujuan kompetisi semata demi kehadiran gelar juara tim nasional?
Hmmm, saya harus mundur ke tahun 1966 untuk melihat timnas Inggris meraih gelar juara bergengsi dan membandingkannya dengen gemerlap kompetisi English Premier League.
Trofi Piala Dunia 49 tahun lalu itu pun di dapat dengan tudingan tak sedap dari kubu Jerman Barat.
Sekali lagi, saya mengutip lirik lagu Iwan Fals berjudul "Mereka ada di Jalan".
"...Kuhampiri, kudekati lalu duduk di tanah yang lebih tinggi. Agar lebih jelas lihat dan rasakan semangat mereka, keringat mereka, dalam memenangkan permainan,"
Iwan Fals mengajak kita melihat suatu persoalan dari sudut yang lebih tinggi agar tidak terpaku pada satu pemahaman.
Lalu "...Tanah lapang hanya tinggal cerita, yang tampak mata hanya para pembual saja."
Dari lagu ini, saya berharap pemangku kepentingan sepak bola nasional dengan bangga bercerita bahwa ia telah membangun atau setidaknya membantu kehadiran sejumlah lapangan sepak bola untuk anak-anak Indonesia.***
Penulis: Weshley Hutagalung
Sumber: Harian Bola, Edisi Cetak, Kolom Opini dan Interaksi, Sabtu-Minggu, 23-24 Mei 2015, No. II, 290/
0 Response to "Kami Rindu Bermain Bola"