Tempo.co/Antaranews.com
Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berjalan meninggalkan Masjid Panepen, Kraton Yogyakarta, Selasa (22/10).
|
Apakah telah terjadi erosi dan kemunduran yang serius dalam kehidupan bermasyarakat di Yogya sehingga virus intoleransi makin berkembang? Bagaimanakah peran lembaga-lembaga pendidikan tinggi top seperti UGM, UII, UIN, Taman Siswa, lembaga pendidikan keagamaan seperti Ponpes, Seminari, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat di sana? Bagaimana peran para "winasis" seperti Ulama, Pendeta, Romo, Ustadz, dll. dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh, benarkah kepemimpinan HB X perlu dipertanyakan dalam bidang merajut dan memperkuat toleransi di masyarakat Yogya yang sangat plural itu?
Tentu saja orang berhak menolak tudingan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) bahwa Ngarso Dalem lembek dalam menyikapi maraknya intoleransi. Orang juga bisa saja menafikan dan menepis hasil survei The Wahid Insitute (WI) yang menunjukkan bahwa selama 2014, kasus intoleransi di Indonesia tertinggi kedua ditempati oleh DIY. Jumlah kasus intoleransi di DIY selama tahun itu ada 21 kasus dan mayoritas adalah kekerasan antar agama. Namun saya kira juga tak keliru untuk memperhatikan keluhan dan hasil survei yang kurang positif bagi DIY itu.
Pada 2014 lalu, Jaringan Antar Iman melakukan dialog dengan Sultan di Keraton Kilen, Yogyakarta. Dalam dialog tersebut, Sultan berkeluh kesah, bahwa persoalan intoleransi yang masih terjadi di DIY karena penegakan hukum yang lemah.
Hanya saja, lanjut Woro, Sultan tidak bersedia menjelaskan kesulitannya untuk mendesak polisi memproses secara hukum. Apabila Sultan mau bercerita, Woro memastikan jejaring masyarakat sipil akan memberikan masukan. Lantaran jejaring masyarakat sipil adalah mitra kritis pemerintah, bukan menjadi musuh.
Lebih baik, menurut Woro, Sultan menggunakan hak keistimewaannya sebagai raja. "Kepala daerah lainnya kan abdi dalemnya. Itu juga bisa mendesak polisi," kata Woro. (Dikutip dari Tempo.co, 1 Januari 2015).
Inilah sebuah peringatan serius bahwa nama besar dan harum yang dibanggakan Yogya juga suatu saat bisa berubah jika tidak dikawal dengan baik. Dan hal-hal semacam ini juga bukan monopoli Yogyakarta, karena perubahan-perubahan cepat di era global ini memungkinkan terjadinya erosi nilai dan perubahan sosial. Justru para elit Yogya harusnya berterimakasih kepada peringatan-peringatan tsb karena ada partner bukan saja dalam suka tetapi juga dalam duka.
Yogya akan terus menjadi salah satu pusat perhatian dalam skala nasional dan bahkan internasional. Dan jika ia mengalami kemunduran (decline) dalam masalah toleransi kehidupan bermasyarakat, ia juga akan menjadi sorotan luas seluruh Indonesia dan bahkan dunia. Lebih baik jika pemimpin-pemimpin Yogya, dibawah Ngarso Dalem HB X, segera "cancut tali wondho" menghadapi virus intoleransi tsb dan menghentikan penyebarannya. Kalau Yogya saja bisa kena virus dan penyakit intoleransi, lalu bagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya, bukan?
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Yogyakarta, Lampu Kuning Untuk Intoleransi?"