Saya posting kembali status tersebut dari blog saya, "The Hikam Forum," 22 Desember 2011:
Prof. Muhammad AS Hikam |
ISTILAH "HARI IBU" SEBAIKNYA DIGANTI DENGAN "HARI PERJUANGAN PEREMPUAN"
Sahabat, istilah Hari Ibu sebenarnya perlu diganti dengan "Hari Perjuangan Perempuan". Di Indonesia sejarah munculnya peringatan hari tsb beda dengan di Amerika Serikat (AS), dimana fokusnya adalah peran Ibu dalam konteks domestik (privat). Oleh sebab itu di negara Paman Sam tsb, merayakan Hari Ibu identik dengan menghargai jasa-jasa Ibu sebagai pribadi dalam konteks domestik. Biasanya cara merayakannya adalah dengan "memanjakan" sang isteri/Ibu untuk menikmati sehari tanpa dibebani urusan apapun.
Sementara, di Indonesia peringatan yang dikenal dengan nama "Hari Ibu" konteks historisnya berbeda sama sekali. Ia terkait dengan perjuangan kaum perempuan yang terkulminasi dalam sebuah Konggres Wanita Indonesia pada 22 Desember 1928. Tanggal tersebut diperingati/dirayakan dalam rangka memberikan penghormatan dan mengingat perjuangan mempertahankan hak-hak asasi perempuan yang pada waktu itu masih terbelenggu. Sampai sekarang pun, sejatinya pemenuhan hak-hak asasi kaum perempuan di negeri ini masih jauh dari berhasil, namun sudah pasti ada kemajuan.
Para pejuang perempuan seperti RA Kartini, Ibu Maria Ulfah, Ibu Christina Martha Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, Maria W. Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dll. telah berbuat banyak memperjuangkan hak-hak asasi kaum perempuan dan diteruskan oleh generasi berikutnya sampai sekarang dan yang akan datang. Jadi bagi mereka, yang diperjuangkan adalah hak kaum perempuan, dimana Ibu dan non-ibu adalah bagian integral di dalamnya.
Hemat saya, istilah "Ibu" yang dipakai pada era tsb mungkin maksudnya adalah "perempuan." Pengaruh budaya dan bahasa Jawa mengharuskan kramanisasi kata "perempuan." Jadi kromo inggilnya perempuan adalah "Ibu", sedang kromo madyo nya adalah "wanita." Dalam perkembangan sejarah, tampaknya kemudian lebih diperjelas. Ibu adalah sebuah status dalam konteks sosial tertentu bagi seorang perempuan, seperti juga "isteri" sebagi status. Sedangkan "perempuan" merupakan jender yang meliputi kelompok status di dalamnya. Kata "wanita" mungkin mengalami pergeseran makna karena dianggap memiliki konotasi subordinasi, sebagaimana istilah "wanito = wani ditoto." Setelah era Reformasi, kata perempuan dianggap lebih netral dan tidak memiliki "beban" eufemistik dan subordinasi seperti kata "wanita."
Jika demikian halnya, agar tidak terjadi kesimpang siuran dan tetap konsisten dengan genealogi perjuangan perempuan, maka saya usul agar istilah "Hari Ibu" diganti saja dengan istilah baru "Hari Perjuangan Perempuan" (Indonesia). Dengan demikian tidak ada unsur tiru-meniru terhadap tradisi di AS (yang biasanya dihindari oleh mereka yang anti budaya Barat) dan memiliki makna mengenang serta meneruskan para pejuang perempuan nasional.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Memperingati "Hari Ibu" 22 Desember 2014: Hari Perjuangan Perempuan"