Selamat Datang - Wellcome

Tenggat 20 Hari, Antara Salah Paham dan Paham Yang Salah

SUARA KAMI - Upaya untuk menekan Presiden Jokowi (PJ) agar melantik Komjen Budi Gunawan (BG) kian berwarna warni. Bukan hanya berbentuk tekanan politik dengan menggunakan kekuatan parpol baik di Parlemen dan di luarnya, tetapi juga melalui tafsir hukum yg melibatkan ahli hukum, pengamat hukum, dan pembuat hukum (legislator), dan tentu saja media massa. Manuver melalui tafsir hukum ini misalnya digunakan dengan menjungkirbalikkan pasal-pasal terkait pencalonan Kapolri, khususnya tugas dan kewajiban DPR dan Presiden. Salah satunya adalah pasal tentang tenggat wakru 20 hari persetujuan DPR terhadap calon yangg diajukan Presiden.

Refly Harun (RH) - Tenggat 20 Hari, Antara Salah Paham ^ Paham Yang Salah
Okezone
Refly Harun (RH)

Aturan tentang tenggat waktu ini sejatinya jelas, yaitu berlaku bagi DPR yang duberi waktu sampai 20 hari untuk menyetujui atau menolak calon kapolri. Jika lewat dari tenggat tsb maka berarti disetujui DPR. Tapi, kini pasal itu digoreng oleh sementara legislator DPR yang vokal serta didukung oleh pandangan pakar hukum, seakan-akan berlaku juga bagi Presiden! Para pakar hukum itu menggunakan argumen asas tukar menukar, reproksivitas (reproxivity), artinya apa yang berlaku bagi DPR juga berlaku bagi Presiden. Dengan akrobat tafsir hukum seperti ini, muncullah sebuah wacana bahwa Presiden Jokowi akan kena dead line jika lewat 20 hari tdk melantik BG setelah persetujuan DPR, maka yang bersangkutan otomatis jadi Kapolri!
Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah menegaskan Jokowi tidak bisa menunda lebih lama lagi persoalan tersebut. Tenggat bagi Presiden untuk membuat keputusan, menurutnya, didasarkan pada Pasal 11 ayat (3) UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian RI.

Pasal itu mengatur bahwa persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul Presiden terkait dengan calon Kapolri harus diberikan paling lambat 20 hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR. Di ayat (4) diatur jika DPR tidak memberikan jawaban hingga 20 hari, calon Kapolri yang diajukan Presiden dianggap disetujui DPR.

Menurut Fahri, ketentuan tersebut juga berlaku untuk Presiden. "Presiden harus memutuskan sampai 5 Februari.DPR kan menyerahkan (persetujuan Budi sebagai Kapolri) pada 14 Januari lalu," ujar Fahri di sela Rapat Kerja Fraksi PKS di Jakarta, kemarin. (Dikutip dari MediaIndonesia.com, Minggu, 01 Febuari 2015)
Inilah permainan yang kemudian dibongkar oleh pakar hukum tata negara, Refly Harun (RH), yang menyebut tafsir itu adalah salah kaprah. Karena pasal tsb tidak mengikat Presiden karena addressnya pada DPR. Presiden Jokowi tidak wajib melantik BG kendati DPR sudah setuju. Asas yang ada dalam aturan tsb bukanlah repeoksifitas yang mengikat bagi Presiden.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun memandang banyak pihak yang salah menafsirkan maksud tenggat waktu 20 hari sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (3) UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian RI.

Disebutkan dalam pasal itu, persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul presiden ihwal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus diberikan paling lambat 20 hari, terhitung sejak tanggal surat presiden diterima oleh DPR.

Jika dimaksudkan tenggat waktu 20 hari itu untuk presiden melantik Kapolri terpilih setelah disetujui oleh DPR, menurut Refly, jelas salah kaprah.

"Dalam UU itu tenggat waktu 20 hari itu untuk DPR. Jadi dalam kasus Budi Gunawan DPR diberi waktu memutuskan 20 hari untuk memutuskan rekomendasi presiden soal Jokowi. Bukan ke presidennya," terang Refly dalam perbincangan dengan Kantor Berita Politik RMOL, belum lama ini.

Refly menambahkan, asas yang tertuang dalam UU itu hanya sebatas etika kelembagaan tanpa konsekuensi hukum. Pasal 11 ayat (3) UU Kepolisian RI tidak didesain untuk mengikat Presiden.

"Artinya, presiden tak perlu melantik Budi Gunawan," tandas Refly.

Seperti diketahui, pencalonan Budi Gunawan mendapat persetujuan DPR pada 14 Januari lalu. Berarti, hari ini adalah hari ke-20. (Disadur dari: RMOL.Co, Selasa, 03 Februari 2015)
Sebagai orang yang bukan pakar hukum, saya cenderung sepakat dengan RH. Hemat saya kerjasama antara politisi dan pakar hukum seperti ini sudah sering kita temukan. Para pakar jenis ini dengan sangat lihay menciptakan kesalah pahaman di ruang publik dan kadang menyebarkan paham yang salah dengan dalih hukum yang ndakik-ndakik. Koalisi (kolusi?) kekuasaan dan ilmu (hukum) menciptakan wacana baru yang bermuatan tekanan politik yang tak kalah kuatnya dengan kekuatan fisik. Michel Foucault, filsuf pasca modern dari Perancis, menyebut ini dengan istilah relasi "power/knowledge". Pertarungan kuasa-kuasa tidak hanya berlangaung di ruang Parlemen dan parpol, tetapi juga dalam wacana. Ilmuwan tidak imun dari godaan power dan penguasa dengan sigap memanfaatkan ilmuwan untuk melegitimasi manuver-manuvernya.

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Tenggat 20 Hari, Antara Salah Paham dan Paham Yang Salah"