Selamat Datang - Wellcome

Setelah KPK, Kini PPATK, Lalu Siapa Lagi?

SUARA KAMI - Setelah KPK, kini yang sedang siap-siap menunggu menjadi giliran jadi obyek pemeriksaan Bareskrim Polri adalah PPATK. Kalau di KPK yang menjadi sasaran dan telah berstatus tersangka adalah mantan-mantan Ketua dan Wakil Ketuanya, Abraham Samad (AS) dan Bambang Wijoyanto (BW), maka sasaran dari PPATK adalah mantan Ketuanya, Yunus Husein (YH). YH telah dilaporkan kepada Bareskrim Polri oleh Ketua Umum Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia, Fauzan Rachman (FR), atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penetapan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka kasus gratifikasi. Publik tentu masih ingat, adalah YH yang diberitakan media mengungkap bahwa BG, calon Kapolri yang kemudian gagal dilantik, sudah pernah mendapat rapor merah ketika namanya diserahkan kepada PPATK dan KPK untuk dievaluasi sebagai calon Menteri Kabinet.

Mantan Ketua PPATK Yunus Husein - Setelah KPK, Kini PPATK, Lalu Siapa Lagi?
TEMPO/Imam Sukamto
Mantan Ketua PPATK Yunus Husein, saat mengikuti fit and proper test calon dewan komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan Komisi XI, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu, 13 Juni 2012.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Yunus Husein, sudah bertemu dengan tim kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengantisipasi penetapan tersangka terhadapnya oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.

Yunus dilaporkan Ketua Umum Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia Fauzan Rachman atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi.

"Semalam, sekitar 20 pengacara berkumpul dengan Yunus Husein," kata kuasa hukum KPK, Nursyahbani Katjasungkana, saat dihubungi, Selasa, 24 Februari 2015.

Yunus hadir saat tim kuasa hukum KPK tengah membahas persiapan pemeriksaan terhadap Bambang Widjojanto di Mabes Polri dan Abraham Samad di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat. Bambang dituduh merekayasa keterangan saksi di Mahkamah Konstitusi, sedangkan Samad dituding membantu Feriyani Lim memalsukan identitas. "Ketiga-tiganya sama, semua rekayasa kasus dan kriminalisasi," kata Nursyahbani.

Dalam laporan TBL/38/I/2015/Bareskrim, nama Yunus masuk sebagai terlapor bersama Bambang Widjojanto dan Abraham Samad. Saat Presiden Joko Widodo mengajukan Budi sebagai calon Kapolri, Yunus sempat membuat gempar melalui media sosial Twitter. Lewat akun pribadinya, Yunus mengatakan Budi adalah salah satu calon menteri yang mendapat rapor merah saat pembentukan Kabinet Kerja. (Dikutip dari Tempo.co, Selasa, 24/2/15)
YH, konon, sedang ancar-ancar jika dirinya dikenai tuduhan membocorkan rahasia negara gara-gara pernyataannya itu. Terlepas dari apakah akan benar-benar terjadi nanti, namun para pengacara KPK bersuara sama mengenai ihwal yang dihadapi baik oleh mantan pimpinan KPK maupun PPAT, yakni "rekayasa kasus dan kriminalisasi." Publik yang bersimpati kepada kedua lembaga anti rasuah tersebut kemungkinan besar juga akan sampai pada kesimpulan tersebut. Apalagi jika lembaga seperti Ombudsman pun telah mengeluarkan pandangan dan rekomendasinya terkait kasus BW. Ombudsman menengarai ada diskriminasi oleh Polri dan ditemukan adanya 9 macam maladministrasi dalam proses tersebut.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia Budi Santoso mengatakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif) Bambang Widjojanto telah didiskriminasi oleh Mabes Polri dalam penanganan kasus pemalsuan keterangan saksi dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010. Menurut dia, ada perlakukan berbeda pada kasus mantan pengacara itu.

"Penyidikan Bambang berlangsung sangat cepat sementara ada kasus serupa dari tahun 2000-an belum tersentuh. Padahal, Polri seharusnya menangani semua perkara dengan sama," kata Komisioner Bidang Penyelesaian Pengaduan Ombudsman itu di gedung Ombudsman, Selasa, 24 Februari 2015.

Bambang Widjojanto untuk ketiga kalinya diperiksa kepolisian. Bambang merasa ada rekayasa dan manipulasi dalam penanganan kasus ini. Beberapa di antaranya karena pasal sangkaan yang terus berubah tiap pemanggilan dan penetapan tersangka yang berlangsung cepat.

Budi mengatakan lembaganya tak bisa menyelidiki mengapa diskriminasi itu bisa terjadi. Ombudsman, kata dia, hanya bisa memastikan telah terjadi perlakuan berbeda terhadap Bambang yang terlihat dari adanya afirmasi ekstra dari pihak kepolisian.

Selain telah terjadi diskriminasi, Budi menambahkan telah terjadi maladministrasi juga dalam proses penyidikan Bambang Widjojanto. Kurang lebih ada 9 maladminstrasi yang telah dilakukan oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri dalam kasus Bambang.

Untuk menangani hal tersebut, Budi mengatakan lembaganya telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk Mabes Polri. Rekomedasi tersebut wajib dilaksanakan dan dilaporkan pelaksanaannya kepada Ombudsman dalam jangka waktu paling lama 60 hari. (Dikutip dari Tempo.co, Selasa, 24/2/15)
Tak pelak menyengat kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh KPK dan PPATK yang kritis terhadap Polri, kian menyebar kemana-mana.

Polri terkesan bergeming, kendati Presiden Jokowi (PJ) telah berulangkali memberikan peringatan dan bahkan instruksi agar aparat penegak hukum tsb menyetop kriminalisasi. Namun peringatan tsb ibarat 'masuk kuping kanan keluar kuping kiri,' alias dicuekin karena adanya semangat menggebu dari oknum-oknum elit Polri untuk menunjukkan siapa yang punya kuasa dan kemampuan, serta membuat lembaga-lembaga seperti KPK dan PPATK tidak bernyali lagi. Dalam benak mereka, jika gebrakan ini berhenti dan tak berhasil, maka bukan tidak mungkin pemeriksaan-pemeriksaan terkait tipikor dalam Polri akan berlanjut di masa depan, apalagi jika pimpinan KPK tetap konsisten dengan kinerja mereka! Mungkin saja aksi ini akan dicitrakan seperti 'jihad', yang wajib hukumnya, demi menjaga marwah, martabat, dan kewibawaan lembaga. Kesimpulannya: jalan terus!

Pertanyaannya, setelah KPK dan kini akan menyusul PPATK, nanti lalu lembaga dan tokoh yang mana lagi yang berpotensi menjadi sasaran 'jihad' itu? Saya kira perkembangan seperti ini bukan saja tidak sehat bagi Polri dan aparat penegak hukum, tetapi juga sangat menghawatirkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Polri, suka atau tidak suka, memiliki kekuatan bukan hanya fisik dan senjata tetapi juga kekuatan sebagai penegak hukum dan terlibat dalam proses hukum. Bahkan jika dibanding dengan TNI pun, dalam hal ini kekuasaan Polri masih lebih besar dan memiliki lingkup yang lebih besar dan mendalam dalam masyarakat. Setidaknya jika TNI menggunakan dalih hukum, maka kondisi dan situasi yang dihadapi umumnya bukan dalam kondisi 'normal', sedangkan Polri bisa bergerak dalam kondisi apapun demi keamanan dan ketertiban umum!

Pemerintah Presiden Jokowi tidak bisa berpangku tangan menyiasati perkembangan dinamis dalam batang tubuh Polri saat ini. Walaupun mungkin terdengar klise, tetapi himbauan dan dorongan agar Presiden, sebagai atasan langsung Kapolri, bersikap tegas dalam rangka menertibkan dan mengontrol lembaga tsb, saya kira tetap relevan dan perlu diserukan berulang-ulang oleh publik. Jangan sampai elit Polri terperangkap dalam permainan politik sehingga Polri dipersepsikan rakyat kian jauh dari khittahnya, sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Jika Polisi telah terjebak dalam jejaring permainan kekuasaan dan politik praktis, maka ancaman khaos dalam masyarakat menjadi nyata, karena lembaga ini memiliki monopoli thd peralatan kekerasan (means of violence) dan fungsi penegakan hukum. Siapa yang bisa mengontrol?

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Setelah KPK, Kini PPATK, Lalu Siapa Lagi?"