LSM dan OMS - Foto: Net / Google Image
|
Sepintas lalu premis logika yang digunakan RJS ini agak aneh: bagaimana mungkin kelompok/organisasi masyarakat sipil (OMS) yang membela tokoh-tokoh dan pimpinan lembaga anti korupsi seperti AS dan BW kemudian menghambat Polri yang juga berupaya memberantas korupsi? Logika yang waras tentunya akan mengatakan bahwa OMS tsb mestinya akan mendukung habis-habisan upaya Polri (atau lembaga manapun) membongkar kejahatan tipikor. Namun jika premis yang digunakan berdasarkan cara berfikir konspiratif, maka omongan RJS itu tidak aneh lagi. Karena ia masih berada dalam mood konflik Polri vs KPK, maka bisa jadi premis logika yang dipakai adalah 'siapa pun yang mendukung KPK atau pimpinannya adalah lawan Polri dan elitenya.' Dengan premis seperti ini, kalaupun LSM-LSM yang selama ini mendukung AS dan BW tsb mengucapkan sumpah setia mendukung pemberantasan korupsi, tetap tidak ada gunanya. Cap sudah ditempelkan dan palu sudah diketok: LSM-LSM tsb bersalah karena terkait dengan pihak yang dianggap lawan (guilty by association).
Polri Curiga LSM Pendukung AS-BW Tidak Ingin Bareskrim Sukses Bongkar Dua Kasus BesarDengan cara berfikir seperti ini maka mudah sekali untuk mencari "bukti-bukti" pendukung dan kemudian menyebarluaskannya di ruang publik. Stigmatisasi dan propaganda melalui media adalah salah satu cara efektif untuk meretas jalan bagi berbagai tindakan repressif 'atas nama hukum' dan 'tugas mulia' pemberantasan kasus-kasus korupsi besar. LSM-LSM yang dicurigai itu pun tiba-tiba menjadi bagian dari jejaring kelompok koruptor yang mesti diwaspadai, dipantau geraknya serta di awasi 24 jam sehari. Dan jika perlu, tokoh-tokoh mereka diperiksa dan dijadikan tersangka, terdakwa lalu masuk penjara!
Patut dicurigai ada upaya dari beberapa pengamat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) tertentu untuk menghalangi upaya pemberantasan kasus korupsi yang dilakukan oleh Polri.
Menurut Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Ronny F. Sompie, mereka adalah pihak yang berafiliasi kepada dua pimpinan KPK yang sudah resmi diberhentikan sementara oleh Presiden, Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW).
Kelompok ini sangat giat mengkritik Kepala Bareskrim Polri, Komjen Budi Waseso di saat konsentrasi penyidik Bareskrim Polri sedang fokus pada upaya mengungkap secara maksimal dua kasus korupsi besar.
"Kemungkinan ada kekhawatiran dari pihak yang terlibat kasus korupsi besar tersebut, bahwa Penyidik Bareskrim Polri di bawah kepemimpinan Kabareskrim Polri Komjen Pol Drs Budi Waseso akan mampu mengungkapnya dengan gemilang dan sukses," jelas Ronny dalam keterangan persnya, Kamis (26/2).
Publik di Tanah Air, kata dia, perlu mengetahui bahwa Kabareskrim Polri sedang memimpin penyidik Bareskrim Polri untuk mengungkap kasus korupsi besar yang bisa saja melibatkan beberapa tokoh penting ataupun pihak lainnya yang cukup terkenal di media massa Indonesia.
Kadiv Humas Polri juga menilai langkah Komnas HAM dan Ombudsman merilis hasil klarifikasi berdasarkan pengaduan tersangka BW dapat dicurigai sebagai upaya melemahkan Polri. Di sisi lain, proses penyidikan terhadap tersangka BW saat ini sudah dapat dibuktikan dengan empat alat bukti yang sah sesuai KUHAP.
"Perbuatan jahat sebagai tindak pidana tidak mengenal perbedaan perlakuan dalam penegakan hukum. Pelayanan penyidik Polri atas keinginan masyarakat untuk menuntut keadilan tidak mengenal diskriminasi," tegas Ronny.
Menurut Ronny, publik seringkali menganggap Polri hanya bisa tajam ke bawah dan seringkali tumpul ke atas dalam penegakan hukum.
"Saat ini Polri sedang menunjukkan betapa Polri juga bisa bersikap tajam ke atas dalam melakukan proses penyidikan terhadap tersangka BW. Walaupun tersangka BW terus berupaya menggunakan jalur-jalur di luar mekanisme hukum acara pidana (KUHAP) untuk menggagalkan penyidikan Bareskrim Polri," ujarnya.
Ronny berharap masyarakat memberi kesempatan kepada penyidik Polri untuk menunjukkan kemampuannya melakukan penegakan hukum tanpa diskriminasi, tanpa beban dan tidak ada upaya untuk mengkriminalisasi seseorang seperti tersangka BW.
Pada saatnya di sidang pengadilan, kata dia, Hakim akan membuktikan hasil penyidikan Polri dalam bentuk berkas perkara yang diajukan melalui Jaksa Penuntut Umum. (RMOL.co, 27/2/15)
'Deja vu'? Tentu saja perasaan seperti itu akan segara muncul. Karena cara-cara itu adalah cara-cara rezim negara-negara kepolisian (police states) yang lazim digunakan dan sudah sangat kita kenal. Rezim otoriter seperti Orba sangat mahir memainkan cara seperti itu. Rezim-rezim totaliter dan fasis sangat ahli dalam mendisain dan berinovasi rekayasa itu. Dan semuanya memakai "hukum" sebagai alat legitimasinya. Kita tahu bahwa sejatinya negeri ini masih belum terlalu jauh meninggalkan era repressif dan sebagian dari elit lembaga penegak hukum, termasuk Polri, juga masih belum terlepas dari psikologi otoriterisme tsb. Jadi kalau kini muncul lagi ke atas permukaan, itulah deja vu otoriterisme yg kita rasakan.
Masyarakat sipil Indonesia dan khususnya OMS tentu harus siap dengan fenomena kembalinya pikiran dan praksis otoriterisme yang mungkin sedang merasuki sebagian elit Polri. LSM sebagai salah satu kekuatan masyarakat sipil Indonesia tentu punya memori panjang soal ini, sehingga tentunya tidak akan kaget mendengar statemen-statemen seperti yang dikemukakan RJS dan sejenisnya itu. Dan rakyat yang masih peka terhadap bahaya kembalinya praksis otoriterisme pun tentunya tidak terlalu kaget. Mungkin hanya sekadar rasa deja vu yang memuakkan dan menyesakkan dada saja...
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "[Polri vs KPK] DEJA VU Kembalinya Otoriterisme"