Selamat Datang - Wellcome

Praperadilan BG dan Representasi Pertarungan Kuasa-Kuasa

SUARA KAMI - Wacana dan praksis pra-peradilan Komjen Budi Gunawan (BG) kini menjadi padang Kurusetra untuk menentukan siapa yang unggul dalam pertarungan antara kekuatan-kekuatan politik elite, yang implikasinya bukan saja akan dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapi juga dunia. Sidang pra-peradilan, yang biasanya tak lebih dari sebuah proses hukum acara untuk menentukan sah atau tidak sahnya sebuah tindakan penangkapan dan pemeriksaan, kini telah berubah menjadi sebuah momen besar penentu apakah Presiden Jokowi (PJ). Bukan hanya apakah beliau akan melantik atau tidak melantik BG sebagai Kapolri, tetapi juga bagaimana masa depan relasi kuasa antara beliau dengan kekuatan-kekuatan politik, baik yang mendukung Pemerintahannya maupun yang ada di luar. Walhasil, sidang pra-peradilan itu telah diangkat statusnya melebihi sebuah proses hukum biasa. Ia adalah sebuah arena pertarungan kuasa-kuasa, yang melampaui kekuatan kontrol pihak-pihak pemohon maupun termohon sendiri!

Praperadilan BG dan Representasi Pertarungan Kuasa-Kuasa
Okezone.com
Sidang Praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) Vs KPK

Karena itulah aturan-aturan formal yang biasanya menjadi patokan dalam sebuah pra peradilan biasa, kini menjadi tidak lagi, atau kurang, relevan. Misalnya, kini publik sudah tidak lagi peduli dengan fakta bahwa status tersangka BG tetap saja melekat kendati pun misalnya ia memenangkan pra-peradilan tsb. Demikian pula, bahwa KPK masih akan terus bisa melakukan pemeriksaan terhadap BG seandainya kalah dalam pra-peradilan, tidak lagi diacuhkan. Apalagi persoalan-persoalan 'abstrak' terkait moralitas dan etika politik, seperti kemungkinan seorang tersangka tipikor menjadi Kapolri. Sama sekali kini berada di latar belakang, bahkan sengaja ditutupi dan disembunyikan di bawah karpet. Sebab pra-peradilan BG adalah mirip perang penentuan antara Kurawa dan Pandhawa. Putusan Hakim pra-peradilan pada Senin (16/2/15) adalah "Bharatayudha Jajabinangun", atau perang puputan yang akan memastikan siapa yang akan berkuasa dan yang akan binasa di panggung politik negeri ini.
Hakim tunggal yang mengadili perkara gugatan praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan (BG), Sarpin Rizaldi harus bebas dari tekanan pihak manapun. Hal itu dikatakan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin Tumpa.

"Hakim itu harus bebas, tidak boleh ada intervensi," tegas Harifin dalam acara diskusi bertema Hasil Pemantauan Praperadilan Komjen Budi Gunawan di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (15/2/2015).

Harifin menambahkan, jika Hakim Sarpin mendapat tekanan maka dia disarankan untuk tidka menggubrisnya. Menurutnya, dalam memutus suatu perkara, dirinya harus berpihak pada kebenaran.

"Kalau menerima tekanan, anggap saja tidak ada tekanan. Tidak perlu dihiraukan, anggap saja tidak ada. Itu makna independensi dari hakim," tegasnya

Perlu diketahui sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah selesai memeriksa perkara gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Dikutip dari news.okezone.com, Minggu, 15 Februari 2015)
Maka tak heran, hari-hari ini pihak pro dan kontra gencar menggelar dan mengerahkan seluruh kemampuan mereka untuk saling menunjukkan kelemahan lawan, menekan mereka, dan, bahkan, mengancam, jika kehendak pihaknya tak terpenuhi. Berbagai strategi dan taktik pun dipertontonkan, baik fisik maupun psikologis. Tak ada perlunya menyembunyikannya, karena hal itu bisa dianggap sebagai kelemahan. Para politisi, pakar hukum, pengamat politik, relawan, aktivis, media dan publik umumnya, semuanya "tumplek blek" menjadi bagian dari perang puputan ini. Mereka yang tidak terlibat di dalamnya dianggap kaum marjinal atau terpinggirkan, yang mesti siap-siap menjadi korban-korban yang akan dipersembahkan di atas altar-altar kekuasaan!

Inilah sebuah drama tragedi politik yang sedang ditonton / dan dialami oleh rakyat Indonesia, yang mungkin sesungguhnya tak terlalu tertarik karena sudah paham benar akan akhir ceritanya. Yaitu kehidupan politik yang tetap tidak akan berangsur lebih baik dan kesejahteraan mereka yang tidak kunjung meningkat. Seperti dalam semua tragedi, pihak yang bertarung (yang menang dan yang kalah) semuanya akhirnya kalah. Seperti perang Bharatayudha yang juga berakhir tragis setelah seluruh Kurawa tumpas, sehingga para Pandhawa pun melakukan 'pati obong', membakar diri karena penyesalan terhadap absurditas perang yang mereka lakukan dan menangkan!. Dan rakyat jua yang kemudian harus mengais puing-puing akibat kerusakan yang dihasilkan oleh peperangan berebut kuasa oleh elit. Salah dan benar, menang dan kalah, hanya menjadi sebuah kenisbian, ambiguitas, dan ketidak pastian. Dan catatan pinggir dari sejarah.

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Praperadilan BG dan Representasi Pertarungan Kuasa-Kuasa"