SR mengataan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) karena:
1) Jabatan BG saat itu adalah Karobinkar. Jabatan ini, menurut SR, merupakan jabatan adminstratif dan bukan penegak hukum;Alasan-alasan tsb, buat saya, menunjukkan rendahnya kualitas penalaran Hakim SR.
2) Saat kasus yang disangkakan terjadi, BG "bukan penyelengara negara" lantaran yang bersangkutan "masih golongan eselon II A.";
3) SR juga beralasan mengapa BG tidak bisa diusut KPK, karena "publik tidak mengenal Budi saat masih menjabat Karobinkar." Publik baru mengenal BG "sejak yang bersangkutan diputuskan menjadi calon kepala Polri oleh Presiden Joko Widodo." (Dikutip dari Kompas.com, Senin, 16/2/15)
PERTAMA, menurut Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, ada sejumlah hal yang menjadi kewenangan KPK, antara lain ia "berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara." Jadi, bagi saya yang awam hukum, apakah seorang Karobinkar Polri itu bukan penegak hukum? Kalau SR menginterpretasikan bahwa BG bukan pejabat negara, mungkin masih debatable (bisa diperdebatkan) dengan alasan eselonisasi. Tetapi BG jelas seorang Polisi yang sudah pasti masuk kategori sebagai penegak hukum "dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor...dst".
KEDUA, kalau SR beralasan BG tidak bisa diusut karena saat menjadi Karobinkar belum dikenal masyarakat, lalu bagaimana dengan orang seperti Gayus Tambunan (GT) atau para terpidana tipikor yang juga belum dikenal masyarakat ketika mereka jadi tersangka? Bukankah GT waktu ditangkap hanya seorang PNS golongan III/B? Apakah dengan demikian mereka harus dilepaskan karena bukan menjadi wewenang KPK? SR pun sangat ekonomis dalam kejujuran ketika beralasan bahwa BG baru dikenal publik sejak menjadi Cakapolri. Posisi BG sebagai seorang Pati Polri sudah pasti sangat dikenal masyarakat, bahkan lebih dikenal ketimbang SR sendiri! Lalu apa ukuran yang digunakan oleh SR untuk menyebut seseorang sebagai "dikenal masyarakat" itu sehingga layak diperiksa oleh KPK?
Hukum dan sistem penegakan hukum akan rusak jika para Hakim Pengadilan di negeri ini sangat rendah mutunya nalarnya. Apalagi selain nalar yang jeblog, ditambah dengan nurani yang harganya murah. Membaca alasan-alasan SR di atas, saya sebagai warganegara RI menyatakan sangat kecewa dengan kapasitas nalar yang dimilik Hakim tsb. Tetapi pada saat yang sama, saya juga tidak heran kenapa orang seperti itu yang ditunjuk menjadi Hakim pra-peradilan kasus BG. Seperti yang saya paparkan sebelumnya, pra-peradilan adalah arena pertempuran kuasa-kuasa (Baca: Praperadilan BG dan Representasi Pertarungan Kuasa-Kuasa). SR terpilih untuk digunakan sebagai alat oleh salah satu kekuatan dalam rangka memenangkan pertarungan tsb. Walaupun sebagai pribadi ia punya tanggungjawab moral, tetapi karena SR ini hanyalah sekrup kecil dalam mesin politik raksasa, percuma juga mencercanya. Lagipula, Hakim-hakim atau pejabat hukum seperti SR ini jumlahnya pasti sangat banyak dan ada di mana-mana.
Jadi seandainya bukan seorang SR pun yang dijadikan Hakim pra-peradilan di PN Jaksel, kayaknya juga masih banyak stock seperti itu yang tersedia, bukan?
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Menimbang Penalaran Hakim Sarpin Rizaldi dalam Kasus BG vs KPK"