Bernama.com / Kompas.com
Presiden RI Joko Widodo dan Chairman Proton Mahathir Mohammad di pabrik Proton, Malaysia.
|
Walhasil Jokowi, yang kala itu sebagai Walikota Solo, mampu menyalurkan keahlian dan sekaligus semangat juang Pak Sukiat dan murid-murid SMK di daerah tersebut untuk mewujudkan program mobnas yang diidam-idamkan dan selama ini mangkrak di tingkat nasional. Singkat cerita, mobil Esemka, dengan segala kelemahannya dari aspek-aspek teknologis maupun non teknologis, akhirnya hadir dan mendapat sambutan positif dari rakyat Indonesia. Jokowi pun mulai menjadi buah bibir sebagai calon pemimpin nasional yang akan mampu membawa bangsa ini menjadi mandiri dan maju, karena bukti ini. Sayangnya, perkembangan mobil Esemka kemudian seperti ternggelam di tengah hiruk pikuk politik semenjak Jokowi hijrah ke Jakarta sampai saat ini.
Itu sebabnya ketika Presiden Jokowi melakukan kunjungan kenegaraan ke Malaysia dan menjadi saksi pembuhulan kerjasama antara Proton Holding Berhad (PHD) dengan Adiperkasa Citra Lestari (ACL) untuk membangun mobnas Indonesia, maka reaksi pun langsung muncul, baik yang pro maupun yang kontra. PHD tentu sudah dikenal sebagai perusahan negara Malaysia di bidang automotif yang memproduksi mobil-mobil Proton, sedangkan ACL adalah perusahan otomotif baru yang dimiliki Hendropriyono (HP), yang merupakan salah seorang pendukung pencapresan Presiden Jokowi. Pihak yang kontra pun langsung menyatakan kekecewaannya kerena seakan-akan Presiden Jokowi sudah lupa dengan Esemka atau mobnas, bahkan ada yang menyatakan RI berada di bawah Malaysia jika kerjasama itu terlaksana, dll. Padahal kerjasama PHD dan ACL tentu adalah kerjasama antar dua perusahaan, bukan antara pemerintah atau negara. Belum jelas benar apakah MoU kedua korporasi itu akan berujung melibatkan uang negara atau fasilitas negara. Tapi seperti sering terjadi, kiprah apapun bisa dicurigai dan dianggap ujungnya merugikan Indonesia!
Saya termasuk pihak yang tidak mau tergesa-gesa memberi judgement mengenai kerjasama tsb. Perlu dicermati lebih jauh apakah kerjasama tsb memang akan bermuara pada munculnya produk mobnas yang mandiri atau hanya menjadi bagian dari Proton dan atau perusahaan lain di luar Indonesia. Kerjasama apapun yang berujung pada kemandirian perlu didukung, termasuk di bidang otomotif ini. Kalau hanya bersikap defensif, sejatinya kita malah tidak jujur sebab mengapa perusahaan otomotif seperti Astra Motor, misalnya, tidak mampu menjadi tulang punggung dan promotor mobnas. Kendati ada mobil-mobil seperti Kijang yang sudah populer secara nasional dan internasional, masih belum mendapat cap sebagai mobnas karena Toyota masih mendominasi di dalamnya.
Tentu ada berbagai variabel yang mesti dipertimbangkan dalam urusan mobnas tsb, bukan hanya variabel kemampuan teknologi saja. Variabel keekonomian, pemasaran, paten, dan tentu saja variabel dukungan politik harus pula dimasukkan dalam pertimbangan. Di situlah kemudian masalah yang tampak sepele lalu menjadi rumit dan mudah dipelintir menjadi komoditas bagi persaingan politik dan usaha dari berbagai kelompok. Kasus Esemka dan program-prorgam mobnas sebelumnya yang layu sebelum berkembang, hemat saya, tak lepas dari tarik-menarik antar-variabel tsb. Semoga kerjasama antara PHD dan ACL akan berbeda dan mobnas Indonesia benar-benar akan terlaksana.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Mengintip Kerjasama Membuat Mobnas dengan Proton"