Foto: www.cbc.ca/news
Presiden USA Barack Obama
|
Tak pelak lagi BO 'mewarisi' PR yang jauh dari rampung yang ditinggalkan GB. Namun strategi dan pendekatan BO memang berbeda secara signifikan dalam ihwal memerangi teorisme global itu. Jika GB terkesan agresif dan menggunakan gaya "cowboy" (contoh: pidatonya yang terkenal 'kalau tidak bersama kami, artinya melawan kami'), serta lebih menekankan pendekatan kekuatan keras (hard power), maka BO menggunakan cara yang lebih terkesan 'moderat' serta tidak gagah-gagahan, kendati tetap tegas (firm). BO bahkan menolak menggunakan istilah-istilah yang sensitif di telinga ummat Muslim dunia, seperti "Ekstrimisme Islam," "Fasisme Islam", "Kelompok Jihadi", dan sejenisnya.
Beliau lebih memilih memakai istilah yang "jenerik" seperti "teroris." BO cukup konsisten dengan strategi komunikasi seperti itu, dengan alasan jangan sampai perang melawan terorisme itu dianggap oleh ummat Islam sebagai perang melawan Islam. Strategi komunikasi seperti ini tidak selalu diterima dengan baik di dalam negeri maupun kelompok Islam tertentu. Di dalam negeri, khususnya dimata kelompok konservatif, BO dianggap tidak jelas dan menghindar dari kenyataan bahwa yang dihadapi memang adalah kelompok teroris yang menggunakan ideologi Islam radikal. Sebaliknya, di mata sebagian ummat Islam, terutama yang antipati terhadap AS, strategi BO hanya dianggap sebagai kamuflase atau bahkan sikap hipokrit. Mereka menganggap bahwa istilah-istilah jenerik tsb belum bisa menutupi tindakan-tindakan diskriminatif terhadap warganegara Muslim di AS dan Eropa yang mendapat tekanan psikologis dan fisik karena fobia terhadap Islam yang muncul dan marak pasca 11 September.
Obama: AS Tidak Berperang dengan Islam!Kritik-kritik semacam ini tentu akan menjadi salah satu batu sandungan bagi BO yang mungkin lebih memahami Islam dan dunia Islam ketimbang para pemimpin AS termasuk yg ada di Gedung Putih dan Konggres. Demikian pula sikap empatik dan rekonsiliatoris BO yang sangat nyata terhadap negara-negara berpenduduk Muslim, termasuk Iran, masih menuai cibiran dan kritik baik dari dalam maupun dari luar AS. Bahkan mantan Menlunya sendiri, Hillary Clinton (HC) yang konon akan menjadi salah satu kandidat dalam Pilpres 2016 nanti, cukup menjaga jarak dengan BO dalam hal sikap "simpatik dan rekonsiliatif" terhadap negara-negara Muslim. HC tampak lebih bersikap 'hawkish' karena kedekatannya dengan kekuatan politik dan korporasi pendukungnya yang cenderung menggunakan pendekatan 'hard power' terhadap kelompok Islam garis keras. Kedekatan HC dengan organisasi lobby Israel seperti AIPAC, misalnya, dan komunitas bisnis di New York, sangat mempengaruhi visi dan pendekatannya mengenai masalah Islam dan terorisme.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyebut bahwa Amerika Serikat tidak sedang berperang melawan Islam, melainkan melawan orang-orang yang menyesatkan Islam.
Hal itu ditegaskan Obama di hadapan lebih dari 60 perwakilan negara-negara di dunia yang hadir dalam sebuah konferensi di Gedung Putih demi membahas ekstrimisme dan terorisme.
"Kita tidak seharunya memberikan mereka (ISIS) legitimasi keagamaan yang mereka cari," sebutnya seperti dimuat Al Jazeera pada Kamis (19/2).
"Mereka (ISIS) menyebarkan gagasan bahwa Amerika Serikat dan Barat pada umumnya sedang berperang dengan Islam. Itu adalah cara mereka merekrut, itulah cara mereka meradikalisasi anak muda," sambung Obama.
Karena itulah, Obama menyebut bahwa dunia harus bersatu menghadapi ideologi yang meradikalisasi orang. Ia pun menilai bahwa kelompok-kelompok militan sepeti ISIS dan al-Qaeda bukanlah pemipin-pemimpin agama, melainkan teroris.
"Kami tidak sedang berperang dengan Islam. Kami berperang dengan orang yang menyesatkan Islam," tegas Obama.
Ia menambahkan, dirinya ingin membuat komunitas Muslim yakin dan tidak merasa dihakimi atau terpinggirkan dengan kejahatan ekstrimis yang mengatasnamakan Islam.
"Tidak ada agama yang bertanggungjawab atas kekerasan dan terorisme. Yang bertanggungjawab adalah individu-induvidu," tutur Obama.
"Kita harus memastikan bahwa kita tidak menstigmatisasi seluruh masyarakat," tambahnya.
Konferensi itu sendiri diketahui digelar selama tiga hari di Amerika Serikat. Konferensi yang mengangkat tema "Melawan Ekstremisme Kekerasan" itu dihadiri oleh sejumlah aparat penegak hukum, pemimpin Muslim dan anggota parlemen dari sejumlah negara. (Dikutip dari RMOL.CO, Kamis, 19 Februari 2015)
Pendekatan BO bisa dikatakan cukup berhasil dalam rangka menghentikan gerak maju organisasi teror Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan dan Pakistan. BO bahkan berhasil membunuh gembong organisasi tsb, Osama bin Laden (OBL), serta menarik pasukan AS dari negara tsb sehingga tidak akan menguras tenaga dan keuangan negerinya, selain menghilangkan kesan bahwa AS menjadi negara penjajah. Kini fokus BO adalah menghentikan ISIS atau ISIL yang jauh lebih berbahaya dan brutal ketimbang organisasi-organisasi teroris sebelumnya. Seperti GB, Presiden kulit hitam pertama AS itu kini memakai strategi mobilisasi dukungan dunia Islam untuk memerangi ISIS. Untuk sementara waktu serangan AS terhadap target-target ISIS di Suriah dan Irak cukup membuahkan hasil dalam arti gerakan offensif ISIS bisa dibendung, kendati korban yang jatuh sudah sangat besar jumlahnya. Namun persoalan yang dihadapi BO kini adalah penyebaran ideologi ekstrem dan aksi-aksi kekerasan ISIS yang, ternyata, sudah meruyak bukan saja di Timteng, tetapi juga ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Utara, bahkan ke Eropa!
Tantangan yang dihadapi BO jelas lebih massif dan terstruktur ketimbang GB dulu. Ideologi ISIS tampaknya mulai mendapat dukungan dan menyebar kemana-mana berkat teknologi informasi modern. Sementara aksi-aksi brutal mereka pun menjadi model kelompok-kelompok "franchaise" ISIS sebagaimana kita lihat di Libya, dan berbagai aksi-aksi teror di Perancis, Denmark, dan Australia.
Mampukah BO menggalang kekuatan anti terorisme dalam tempo kurang dari 2 tahun masa jabatannya? Jika jawabannya negatif, dan pengganti beliau di Gedung Putih nanti adalah HC dan/atau, apalagi, tokoh dari partai Republik yang konservatif, maka kepemimpinan AS dalam perang melawan terorisme juga akan terancam mengalami 'setback.' Negara-negara di dunia, khususnya negara berpenduduk Muslim, saya kira harus mencari modus baru yang lebih efektif ketimbang semata-mata mengandalkan kepemimpinan AS yang cenderung sangat tergantung kepada visi para elite mereka yang mudah berubah sesuai dinamika politik dalam negerinya. Termasuk dalam hal ini Indonesia yang, sampai tingkat tertentu, telah menunjukkan keberhasilan menghentikan aksi-aksi teror dengan pendekatan penegakan hukum melalui Polri, khususnya Densus 88 dan kerjasama dengan TNI serta intelijen negara. Pendekatan yang lebih lunak (soft) perlu dikembangkan agar kekerasan yang memakai dalih agama, seberapa kecilpun bisa diatasi, dikurangi, dan akhirnya dihilangkan sama sekali. Islam moderat di negeri ini seharusnya bisa menyumbangkan gagasan dan praksis untuk strategi dan pendekatan perang melawan terorisme yang efektif dan sesuai dengan kepentingan nasional dan regional, serta global.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
Bahan Bacaan: Fighting ISIS: Barack Obama holds summit against violent extremism, (http://www.cbc.ca/news/)
0 Response to "Memberantas ISIS Cara Amerika, Mungkinkah?"