Net
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani
|
Politisi PDI Perjuangan, Puan Maharani, menegaskan bahwa Joko Widodo masih menjadi petugas partai tersebut. Ia tidak mempermasalahkan jika ada partai lain yang ingin mencalonkan Jokowi sebagai presiden pada Pemilu Presiden 2019.Dalam praktik tatanegara kita, Presiden-presiden sebelum Presiden Jokowi memang tetap memimpin parpol secara formal. Pak Harto adalah Ketua Dewan Pembina DPP Golkar, Gus Dur adalah Ketua Dewan Syuro DPP PKB, Megawati adalah Ketum DPP PDIP, dan SBY adalah Ketum DPP PD. Namun konteks Presiden Jokowi saat ini berbeda. Beliau tidak punya posisi struktural apapun di PDIP saat dicalonkan dan ketika sudah menjabat Presiden. Di samping itu, berbeda dengan para Presiden RI sebelumnya, Presiden Jokowi punya komitmen politik yang jelas yaitu semua anggota Kabinet DILARANG merangkap jabatan struktural parpol.
Hal itu disampaikan Puan menyikapi wacana organisasi Pro Jokowi (Projo) berubah format menjadi partai baru dan mengusung Jokowi sebagai calon presiden pada pemilu mendatang. Menurut Puan, setiap orang memiliki hak untuk membentuk parpol dan menentukan sikap partainya.
"Itu kan hak politik semua warga negara. Asal ada orangnya, ada nama parpolnya, boleh-boleh saja. Sah-sah saja semua orang mau bangun parpol," kata Puan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/2/2015) siang.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu tidak mempermasalahkan jika nantinya Jokowi bersedia diusung oleh Projo pada pemilu mendatang. Demikian pula jika Jokowi bersedia dicalonkan sebagai presiden oleh partai selain PDI-P.
Namun, Puan mengingatkan bahwa Jokowi sebelumnya berhasil menjadi presiden karena diusung oleh PDI-P. Oleh karena itu, secara etika politik, Jokowi masih menjadi bagian dari partai berlambang banteng tersebut.
"PDI-P bersama Jokowi dan Jokowi masih sebagai petugas partai, kader PDI-P," ucap Puan. (Dikutip dari Kompas.com, Selasa, 3 Februari 2015)
Dengan konteks yang berbeda tsb, sangat tidak nalar jika PM dan elit DPP PDIP tetap bersikukuh memakai istilah petugas partai bagi Presiden Jokowi saat ini. Ketika beliau masih Gubernur DKI Jakarta, mungkin sebutan itu masih bisa dimengerti karena faktanya memang beliau belum jadi Presiden dan pencapresan Jokowi adalah program PDIP. Sebutan petugas partai seharusnya berhenti begitu Jokowi menjadi Presiden RI karena kedudukan beliau jelas "mengatasi" posisi struktural partai. Belum lagi jika dikatakan bahwa sebagai Kepala Negara, beliau adalah representasi bangsa dan NKRI.
Terlepas apakah Presiden Jokowi setuju atau tidak, penyebutan terhadap seorang Presiden RI sebagai petugas partai harus ditolak oleh warganegara RI yang bertanggungjawab dan menghormati negara dan lembaga-lembaganya. Sebutan itu berkonotasi negatif seolah-seolah Presiden Jokowi hanya 'suruhan' PDIP atau, bahkan lebih khusus lagi, suruhan DPP PDIP. Padahal sebagai Presiden bisa saja Presiden Jokowi membuat keputusan yang mungkin mwrugikan kepentingan partai tsb. Misalnya soal pengangkatan BG sebagai Kapolri. Jika Presiden Jokowi hanya petugas PDIP, logikanya beliau tidak bisa dan tidak boleh menolak maunya partai tsb. Tetapi sebagai Presiden RI, Presiden Jokowi punya hak prerogatif mau mengangkat atau tidak.
Mengurus negara tidak sama dengan, atau dikalahkan oleh mengurus kepentingan partai. Sebagai seorang pejabat negara, mestinya PM paham masalah yang sebenarnya sangat elementer seperti ini. Sayangnya seperti sering kita jumpai di negeri ini, pejabat negara sering mencampuradukkan antara kepentingan partainya dengsn kepentingan negara. Ujung-ujungnya, negara terancam menjadi kacau seperti kacaunya parpol-parpol itu. Mengurus negara lantas disamakan dengan mengurus yayasan milik keluarga atau perusahaan keluarga!
Na'udzubillah min dzalik.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "AS Hikam: Bagi Saya Jokowi Adalah Presiden RI, Bukan Petugas Partai PDIP"