Saya termasuk dalam barisan yang terakhir itu. Kemelut-kemelut yang terjadi saat ini justru bagi saya menunjukkan betapa penting dan bermanfaatnya demokrasi, apabila dimaknai secara nalar dan memakai nurani yang jernih. Kenapa demikian? Karena jika memang rakyat Indonesia jujur dan bersungguh-sungguh, inilah saatnya mereka tahu secara transparan siapa elit penguasa dan politik yang benar-benar bisa dipercaya, dan mana saja yang bunglon serta munafik. Karena demokrasi lah maka semua omongan dan perilaku elit dan politisi tsb menjadi transparan: siapa di antara mereka yang dengan sangat mudah mencla-mencle. Karena keterbukaan informasilah maka mereka yang memanipulasi media untuk menjonru lawan-lawannya atau pihak yang tidak disukai, akan menjadi trawaca. Karena kebebasan berpendapatlah maka rakyat bisa memberikan pandangan mereka yang kritis kepada mereka yang selama ini selalu imun dari kritik. Karena keterbukaan pula maka praktik-praktik kekerasan atas nama agama kini bisa disaksikan dan dilaporkan bukan saja di Indonesia tetapi juga di masyarakat dunia.
Persoalannya bukan pada demokrasi itu tepat atau tidak, tetapi pada apakah elit penguasa dan rakyat Indonesia mau memanfaatkan demokrasi secara sungguh-2 dan jujur. Jika tidak, maka kendati mereka sudah paham dan jelas melihat siapa elit politik dan parpol mana yg suka membunglon dan korup, tetap saja orang-2 dan parpoltsb akan selalu dipilih dan menang dalam Pileg dan Pilpres. Kendati sudah tahu media mana dan siapa-2 yang suka melakukan penjonruan tidap hari, mereka akan tetap dibiarkan dan malah disebarluaskan penjonruannya. Kendati mereka sudah tahu ormas mana yang tukang sweeping dan memaksakan kehendak atas nama agama, masih saja dibiarkan, dilindungi, dan malah didukung!
Anehnya, mereka-mereka (para elit dan rakyat) ini kemudian rame-rame menyalahkan demokrasi, bukan menyalahkan diri mereka sendiri yang berkhianat dan hipokrit dalam melaksanakan demokrasi. Demokrasi haya diakui dan diterapkan jika menguntungkan kepentingan sendiri dan kelompoknya. Jika tidak, maka demokrasi pun dihujat sebagai "produk Barat", "tidak sesuai dengan budaya bangsa", "liberal", dan berbagai labelisasi tanpa nalar lain. Padahal, sebenarnya kalau memang tidak suka pada cara penerapan demokrasi di tempat lain, bangsa Indonesia juga bisa dan sah-sah saja melakukan ekperimentasi penerapan demokrasi yang pas. Asalkan, nilai-nilai dasar yang universal di dalam sistem tsb masih tetap kokoh dan tegak. Sama halnya ibarat orang mau makan rawon, bisa saja rawon itu diolah dengan berbagai macam gaya, asalkan ingredient pokoknya masih tetap lengkap, seperti kluwek, kecap, dll. Tidak mungkin masakan disebut rawon jika ingredient pokoknya lenyap. Misalnya jadi gule atau tongseng.
Walhasil, demokrasi dan praktik demokrasi adalah dua hal yang berbeda kendati tak terpisahkan. Tak mungkin ada praktik demokrasi tanpa melaksanakan semua prasyarat pokok dan nilai-nilai dasar yang ada. Tak mungkin pula ada demokrasi tanpa dilaksanakan dalam praktik di alam nyata. Pelajaran dari segala kemelut politik saat ini adalah: Demokrasi yang diamanatkan oleh Konstitusi adalah sebuah keniscayaan atau sine qua non bagi Indonesia. Tetapi praktik berdemokrasi yang berjalan, masih jauh dari memuaskan karena para pelaku dan pemimpinnya bukan saja tidak melaksanakan prinsip demokrasi, tetapi terang-terangan serta tanpa rasa malu atau risih melanggarnya. Sambil berbangga dan mengatasnamakan demokrasi! [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
Referensi: Manuver Golkar di Tangan Aburizal, Kompas.com, Senin, 11/12/14
0 Response to "Kemelut Politik dan Pembelajaran Ber-Demokrasi"