Kompas.com
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sebelum memimpin rapat pleno di DPP Partai Demokrat, Kamis (11/12/2014).
|
Benarkah negara-negara Non-Blok selalu independen dan netral dalam menyikapi konflik Timur vs Barat pada masa Perang Dingin? Misalnya, apakah RI selalu konsisten dengan prinsip Non-Blok nya baik pada masa Orla maupun Orba? Sejarah menunjukkan bahwa dalam praktiknya, polugri Indonesia pada masa Bung Karno jelas memihak barisan Blok Timur atau Soviet dkk. Sementara itu, pada masa Orba Indonesia jelas-jelas memihak di kubu Barat. Demikian juga polugri negara-negara Non-Blok seperti Tiongkok, Kuba, Vietnam, bahkan India dan Mesir. Antara apa yang dikatakan sebagai retorika politik dan praktik politik, bisa berbeda bahkan berlawanan.
Saat ini PD yang mengusung istilah "penyeimbang" di Parlemen juga demikian. Retorika netralitas atau tidak memihak salah satu kubu, tidak bisa dibuktikan dan malah bertentangan ketika partai tsb bersekutu dengan KMP dalam perebutan posisi pimpinan melawan KIH. Dan PD pun menikmati hasilnya dengan menempatkan politisinya di posisi pimpinan DPR dan Komisi-komisinya. Dengan demikian, istilah penyeimbang hanyalah kamuflase alias pem-bunglon-an dari sikap oportunisme politik belaka. Bahkan ada sementara pihak yang mengatakan Machiaveliansitik dari PD. Kini, ketika kepentingan PD terkait Perppu Pilkada terganggu, maka dengan segera ia beralih mendekati KIH. Karena pertimbangan kekuatan voting yang lemah maka Gerindra dan Golkar akhirnya tidak jadi menolak Perppu tsb. Jadi saya kira istilah penyeimbang itu hanya retorika politik PD saja.
Jika PD memang penyeimbang, tentu ia sejak awal tidak akan larut dalam perkelahian antara KMP dan KIH, apalagi masuk di dalam salah satunya. Pak SBY dengan menggunakan retorika penyeimbang tsb malah terkesan melakukan penjonruan terhadap sikap kemandirian dan/atau independensi politik. Implikasinya, PD bisa jadi akan dipandang publik di Indonesia telah menjual dirinya demi gengsi elitnya, karena publik dengan terang benderang mengikuti dan melihat langsung sandiwara-sandiwara yang digelar sejak UU Pilkada dibahas di DPR sampai keluarnya Perppu tsb. Bahkan banyak komentar dari kalangan KMP sendiri yang menuding PD sebagai pihak yang inkonsisten dan sumber masalah!
Ancaman terjadinya kemerosotan marwah dan elektabilitas PD kini semakin dilengkapi dengan langkah-langkah politik bunglon yang tidak cerdas itu. Alih-alih PD akan bangkit pada 2019, saya khawatir yang terjadi adalah justru sebaliknya. Partai ini akan semakin ditinggalkan oleh para pendukungnya sebab makin tingginya ketidak percayaan rakyat yang diharap akan memilih dalam Pileg nanti. Sebaiknya Pak SBY tidak melanjutkan beretorika seperti itu, tetapi bersikap seperti negarawan yang benar-benar berfikir dan bertindak untuk kepentingan bangsa. Bukan hanya kepentingan partai, apalagi hanya kepentingan pribadi dan orang-orang di sekitarnya. [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
Referensi: SBY: Demokrat Dibilang Bunglon, Salah Besar!. Kompas.com, Kamis (11/12/14)
0 Response to "Antara Retorika "Penyeimbang" dan Bunglon"