Tempo.co
Aburizal Bakrie bersama para Ketua DPD I Golkar, beri keterangan usai pertemuan, di rumah kediaman, Jalan Ki Mangun Sarkoro, Jakarta, 25 Agustus 2014.
|
Dibanding masa kepemimpinan Akbar Tanjung (AT), maupun Jusuf Kalla (JK), maka kepemimpinan ARB inilah yang paling amburadul dan bisa dikatakan memalukan untuk Golkar. Ini bukan hanya karena kegagalan ARB dalam mewujudkan ambisi pribadinya sebagai pemimpin nasional saja, tetapi juga karena manajemen partai yang semakin tidak profesional, bahkan mengarah pada kediktatoran yang dipertontonkan oleh pemilik Bakrei Group itu. Dan implikasinya jelas, semakin banyak tokoh-tokoh penting dan mumpuni yang dimiliki Golkar yang kemudian mengambil jarak dari ARB. Inilah ironi sebuah partai yang ditegakkan dengan landasan budaya politik patrimonialisme tetapi ingin hidup dalam sistem demokrasi.
Untuk jangka pendek, Golkar masih mampu bertahan dengan kapasitas kader yang besar dan mumpuni serta jejaring birokrasi sampai di akar rumput yang diwarisi dari zaman Orba. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata Golkar mengalami implosi dan terbelah dalam berbagai sempalan. Tiap boss faksi yang tidak puas kemudian mendirikan partai baru yang akhirnya menggembosi Golkar baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Bukannya Golkar tak punya SDM generasi muda yang bagus. Saya yakin parpol ini punya sangat banyak bahkan lebih banyak dari parpol lain di negeri ini. Masalahnya adalah kultur politik Golkar yang patrimonial tsb tidak memungkinkan generasi muda untuk menapaki karir politik dengan jelas apalagi jika mereka memiliki pandangan-pandangan yang berlawanan dengan boss di DPP. Maka solusinya selalu adalah penyempalan (splintering) dari batang tubuh Golkar. Alternatif yg paling umum adalah generasi muda tsb patuh dengan garis partai sambil menunggu waktu agar bisa tampil sesuai dengan siapa yang menjadi boss dari faksi-faksi elit di DPP!.
Jika ada yang mencoba melakukan terobosan-terobosan atau alternatif yang di luar mainstream atau kotak yang tersedia (out of the box) seperti Poempida, Nusron, dll maka harus meriskir posisinya. Sayangnya gerakan kelompok muda di Golkar seperti itu masih sangat kecil dan terbatas. Yang paling dominan adalah mereka yg mengikuti jalur politik patrimonial.
Inilah yg menjelaskan kenapa ARB masih bercokol sampai kini dan bukan tak mungkin bisa memenangi kompetisi untuk jabatan Ketua Umum DPP Golkar 2015-2020. Uang dan jejaring patrimonial adalah mantra yang paling sakti di partai ini dan itulah yang membuat pesaing-pesaing ARB akan asor jika mereka terpecah-pecah. Walaupun mereka adalah tokoh-tokoh yang berkualitas dan berjam terbang lama seperti Hajrianto Y Tohari (HT) dan Agung Laksono (AL), tetapi keterpecahan mereka serta dukungan finansial yang lemah akan sulit menghadapi mobilisasi ARB.
Upaya tokoh-tokoh muda seperti Yorries Raweyai (RR) untuk memecahkan kebuntuan dan dominasi ARB masih terlalu pagi untuk dikatakan akan berhasil. namun masalahnya, kemenangan ARB nanti bukanlah sebuah petunjuk akan membaiknya kondisi Golkar. Sebaliknya justru jika partai Orba ini kembali dipimpin ARB, maka kita akan menyaksikan munculnya parpol sempalan baru menyusul parpol-parpol sempalan Golkar sebelumnya. [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam.
Referensi: Tempo.co
0 Response to "Munas Golkar dan Munculnya Partai Sempalan Baru"