"Cara mengelola negara tdk sama dengan mengelola rumah tangga ato warung. Kalo mengelola rumah tangga atau warung, apa yg terlintas dlm pikiran bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Negara tdk begitu," kata Yusril dalam serangkaian pesan di akun Twitter @Yusrilihza_Mhd, Kamis (6/11/2014).
Menurut Yusril, Presiden harus berbicara terlebih dulu dengan DPR sebelum membuat kebijakan yang berkaitan dengan keuangan negara. Karena DPR memegang hak anggaran, kata dia, perlu ada kesepakatan antara pemerintah dan parlemen dalam pengelolaan keuangan negara. Seperti dilansir oleh Kompas.com Kamis, 6 November 2014.
Saya tidak bermaksud mengomentari YIM karena saya jelas tidak punya keahlian dalam bidang hukum. Saya hanya melihat dari dimensi politik yang berkembang dan implikasinya terhadap efektifitas kinerja Pemerintah Jokowi. Hemat saya, dibanding dengan pemerintah sebelumnya, kondisi politik yang dihadapi Presiden Jokowi adalah yang paling tidak kondusif khususnya pada tataran elit.
Presiden-presiden sebelumnya, setidak-tidaknya pada masa awal memerintah, semuanya mendapat dukungan yang kuat di Parlemen dan baru kemudian mengalami berbagai dinamika termasuk perlawanan. Pada Pemerintahan Jokowi ini, perlawanan justru SUDAH DIMULAI sebelum beliau dilantik secara resmi. Jokowi mewarisi Parlemen yang volatile, tidak stabil, dan bahkan didominasi kubu KMP yang merupakan gabungan parpol oposisi. Bahkan kubu pendukung Pemerntah, KIH, pun tidak sesolid yang diharapkan, sebagaimana bisa dilihat penentangan dari sebagian politisi PDIP (partai Jokowi sendiri) terhadap kebijakan kenaikan harga BBM.
Di Kabinet sendiri, Jokowi belum bisa dikatakan sudah stabil dan bisa bekerja dengan efektif. "Penyakit lama" Wapres JK yang cenderung bermain solo, tampaknya masih belum bisa dikendalikan, sehingga membuat otoritas Jokowi sebagai orang nomor satu menjadi kurang tampak. Demikian pula para Menterinya yang kiprahnya menjadi sorotan, misalnya Menko Puan Maharani (PM) dan Mensekneg Pratikno yang mendapat kritik tajam dari YIM terkait kebijakan tiga Kartu Indonesia Sejahtera (KIS) itu. Belum lagi Menko Polhukam, yang menurut hemat saya, lemah dalam komunikasi publik sehingga berdampak kontra produktif bagi Pemerintah sendiri.
Dengan kondisi politik riil seperti ini, Presiden Jokowi jelas menghadapi lingkungan strategis yang jauh dari ideal, kendati beliau adalah Presiden yang memiliki elektabilitas sangat tinggi serta diakui dunia internasional. Karena itu, langkah-langkah strategis, seperti masalah BBM dan KIS, yang sejatinya mengandung niat dan maksud mulia, mesti juga diimplementasikan dengan perhitungan matang. Terutama mempertimbangkan soliditas dukungan serta stabilitas politik yang ada di Parlemen dan parpol, serta efektifitas Kabinetnya. Publik Indonesia masih sangat rentan terhadap pengaruh media, termasuk jejaring sosial, sehingga kecenderungan untuk berubah-ubah dalam opini sangat tinggi. Belum lagi politisasi berbagai persoalan sangat gampang dikembangkan yang pada gilirannya bisa mengganggu kerja Presiden dan squadnya.
Peringatan-peringatan konstruktif dari figur seperti YIM, hemat saya, perlu digunakan didengarkan dan dipertimbangkan serta diuji validitasnya. Bangsa Indonesia memilih Presiden yang memiliki komitmen tinggi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan kemandirian sebagaimana yang ada dalam sosok Pak Jokowi. Jangan sampai harapan bangsa ini meredup karena dinamika politik elit akhirnya menjadi penghalang bagi beliau untuk mewujudkan cita-cita mulianya. [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Menyikapi Peringatan Prof. Yusril Kepada Presiden Jokowi"