Selamat Datang - Wellcome

Kabinet "Kerja" atau Kabinet "Kurang Kerjaan"?

SUARA KAMI - Kabinet Kerja di bawah Presiden Jokowi memang "luar biasa" kerjanya. Tetapi jangan salah, yang saya maksud bukan dalma makna positif, tetapi dalam menciptakan isu-isu kontroversial yang tidak produktif. Setelah issu Tiga Kartu Sakti (TKS) dan ontran-ontran penaikan harga BBM, kini muncul lagi isu yang tak kalah kontroversialnya: Kebijakan Mendagri untuk pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ketiga issu tsb bukan saja strategis bagi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, tetapi juga sangat sensitif karena ketiganya menyangkut masalah Hak Asasi Manusia (HAM) serta rentan terhadap politisasi. Padahal, semua orang tahu bahwa kondisi perpolitikan nasional pasca-Pilpres masih belum bisa dikatakan stabil, khususnya terkait relasi antara DPR dan Pemerintah.

Kebijakan Mendagri untuk pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Isu TKS dan BBM sudah menggelinding dan kontroversi sudah marak yang implikasinya mengganggu konsentrasi Pemerintah Jokowi. Kini ditambah dengan isu KTP yang dilontarkan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo (TK). Entah apa yang mendorong pentolan PDIP itu melontarkan isu pengosongan (sementara) kolom agama di KTP tsb, tetapi faktanya memang dilaporkan media massa dan melahirkan pro kontra baru. Sikap TK sendiri masih bisa dikatakan "abu-abu" dan tidak jelas. Di satu pihak dia mengatakan sementara, tetapi di pihak lain dia bilang bahwa untuk penganut 6 agama yang diakui resmi oleh Pemerintah RI, maka wajib diisi. Padahal, pencantuman kolom agama tsb sampai sekarang masih resmi ada aturan hukumnya, dan oleh Pemerintah RI belum dicabut. Bagaimana mungkin seorang Mendagri membuat aturan sendiri tanpa ada payung perundang-undangan seperti itu?

Belum lagi mengenai tafsir yang muncul akibat dari apa yag dinyatakan TK. PBNU, misalnya, menganggap pengosongan kolom agama di KTP sebagai "kebijakan itu bertentangan dengan Pancasila." Rahmawati malah lebih serem lagi: kebijakan itu membuka peluang bagi masuknya atheisme.

"Mengutamakan kebebasan HAM, maka akibatnya kolom agama KTP boleh dikosongkan. Ini dapat berimplikasi paham ateisme (tidak mengakui Tuhan) masuk kembali," ujar tokoh politik nasional, Rachmawati Soekarnoputri seperti dikutip dari RMOL.co Sabtu, 08 November 2014.

PKS pun setali tiga uang, menganggap kebijakan tsb "berbahaya bagi NKRI." Alasan dari partai Islam tsb, selain bertentangan dengan kesepakatan adanya enam agama resmi yang diakui oleh negara, ia juga berimplikasi pada masalah undang-undang perkawinan, hak waris dan zakat. Menurut politisi PKS, Abdul Halim, "kolom agama di KTP bukan saja masalah administratif, tapi memiliki konsekuensi keyakinan dan perundang-undangan."

"Implikasinya banyak. Undang-Undang Zakat juga, yang punya kewajiban dan yang diundangkan adalah nantinya jadi indentitas untuk menguak siapa yang punya kewajiban harus membayar zakat. Ini akan ancam eksistensi dan keutuhan anak bangsa," kata Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Hakim, dikutip dari jpnn.com, Jumat, 07 November 2014

Bagi pihak yg menyetujui, umumnya memang masalah kolom agama ini tidak lebih dari urusan administratif belaka. Selain TK, Wapres Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa ini bukan penghapusan, tetapi "... yang ada diisi di kolom, kalau tidak ada dari enam agama itu, mau diisi apa? Kosongkan saja tho...". Masih kata JK, "itu kan masalah personal di agama. Kan orang cuma datang ke kelurahan, isi formulir, kalau tidak mau isi formulir (kolom agama), ya masa mau dipaksa."

"Bukan penghapusan, yang ada diisi di kolom, kalau tidak ada dari enam agama itu, mau diisi apa? Kosongkan saja tho," kata JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (7/11/2014).

"Itu kan masalah personal di agama. Kan orang cuma datang ke kelurahan, isi formulir, kalau tidak mau isi formulir (kolom agama), ya masa mau dipaksa," ujar JK, dikutip dari Kompas.com, Jumat, 7 November 2014.

Jadi soal identitas keagamaan seseorang tidak ada kaitannya dengan masalah lain seperti yang dikatakan PKS maupun PBNU, apalagi seperti kata Rahmawati.

Walhasil, Para Menteri Jokowi sangat cepat dalam membuat isu kontroversial yang belum tentu produktif dan secara politik akan bisa membuat Pemerintahannya yang belum seumur jagung itu stabil. Media tentu sangat sumringah dengan segala keriuh-rendahan ini, karena bahan pemberitaan yang berpotensi trending kian banyak, dan memiliki rating tinggi. Pasar, sebaliknya akan merepon negatif karena isu-isu kontroversial seperti itu hanya akan membuat kepastian bisnis terganggu. Publik sendiri tentu akan terbelah-belah, dan biasanya isu-isu sensitif terkait BBM dan agama akan mudah memancing reaksi emosional yang tinggi dan berpotensi eksplosif.

Pertanyaan saya, apakah kehebohan dan kontroversi yang tak produktif seperti ini yg dianggap implementasi dari Kabinet Kerja (KK), ataukah sebenarnya malah bisa dianggap sebagai Kabinet "Kurang Kerjaan" (KKK)?." Silakan anda menjawabnya sendiri. [ASHikam]

Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam

Referensi:
RMOL.co, JPNN,com, Kompas.com, Tribunnews.com

0 Response to "Kabinet "Kerja" atau Kabinet "Kurang Kerjaan"?"