Selamat Datang - Wellcome

Buruknya Komunikasi Publik Ihwal Kenaikan BBM

SUARA KAMI - Wacana penaikan harga BBM oleh Pemerintah Jokowi bukanlah sesuatu yang baru bergulir. Bahkan sejatinya ini adalah salah satu topik hangat saat Presiden SBY masih menjabat, dan banyak pihak yang menyatakan bahwa keengganan Pemerintah saat itu untuk menaikkan BBM akan berdampak kepada Pemerintah baru. Pihak koalisi pendukung Jokowi-JK pada saat itu mendesak agar Pemerintah SBY menaikkan BBM sehingga Pemerintah baru akan lebih bisa berkonsentrasi menangani masalah dan program-programnya. Sayangnya, Pak SBY bergeming dengan berbagai alasan, dan masalah pun kini seakan-akan menjadi warisan untuk Presiden RI ke 7 tersebut.

Buruknya Komunikasi Publik Ihwal Kenaikan BBM
republika.co.id
Agus Hermanto dan Arya Bima

Terlepas dari pro kontra apakah penaikan harga BBM bersubsidi itu mesti dilakukan atau tidak, saya tertarik mengamati sisi lain dari wacana ini. Yakni bagaimana keputusan diproses dan diambil oleh Pemerintah Jokowi dan bagaimana reaksi yang muncul baik dari dalam maupun dari luar lingkaran kekuasaan.

Di dalam koalisi KIH sendiri jelas suara tidak satu: sejak awal beberapa pentolan PDIP seperti Effendi Simbolon (ES), Rieke Dyah Pitaloka (RDP), Aria Bima (AB), untuk menyebut beberapa nama, menolak kebijakan tsb. Megawati, sebagai Ketum PDIP, justru mendukung sehingga Jokowi pun boleh berlega hati. Di pihak eksternal, koalisi KMP cenderung menolak kebijakan tsb, walaupun dengan alasan yang berbeda-beda. Dan publik, seperti biasa, cenderung terbelah menyikapi wacana ini. Di samping pro dan kontra, banyak juga yang berpendapat bahwa masalahnya bukan naik atau tidak, tetapi apakah BBM tersedia atau tidak di pasaran!

Kini setelah Presiden Jokowi memegang kendali kekuasaan Pemerintahan, tampaknya keputusan penaikan harga masih belum selesai. Bahkan dalam PDIP sendiri, pihak yang menolak tetap bergeming dan ini tentu bisa menciptakan spekulasi politik yang merugikan koalisi KIH yang kini masih belum solid di Parlemen. Saya sejak awal dalam catatan ini selalu menyarankan agar ditemukan kesepahaman dulu di dalam kubu PDIP, dan jangan sampai para elit bicara sendiri-sendiri di ruang publik, apalagi saling bertentangan.

Tampaknya saran saya jatuh di telinga yang budek, dan perbedaan pendapat makin runcing. Yang menjadi sasaran perbedaan bukan lagi sekedar kebijakan tetapi siapa yang dianggap dibaliknya. Wapres Jusuf Kalla (JK) menjadi bulan-bulanan kritik dari politisi PDIP sebagai pihak yang paling memiliki kepentingan dengan kebijakan penaikan BBM. Tambahan lagi, memang JK paling ngotot agar Pemerintah segera mengumumkan kenaikan harga BBM, seperti statemennya yang dikutip media: "pokoknya bulan (November, red.) ini!." Anehnya, Presiden Jokowi, yg jelas sepakat dengan kebijakan kenaikan BBM, malah cenderung belum mau bicara tentang soal waktu pengumuman akan diberikan. (http://www.tempo.co/read/news/2014/11/03/078619226/Misteri-Harga-BBM-JK-Pokoknya-Naik-Bulan-Ini).

Komunikasi politik yang buruk seperti yang ditunjukkan oleh KIH dan Istana ini jelas akan mempengaruhi secara negatif perspesi publik terhadap Pemerintah baru. Padahal situasi politik di parlemen pun belum kunjung stabil. Presiden Jokowi juga harus melakukan lawatan ke luar negeri sebagai Pemimpin negara anggota ASEAN terbesar pada minggu-minggu ini. Jika publik makin disuguhi pertikaian di dalam elit seperti ini, maka dukungan terhadap kebijakan Pemerintah pun tidak akan sekuat yang diharapkan. Pihak-pihak yang menolak kebijakan Pemerintah, utamanya KMP, akan makin mendapat tambahan argumen yang memperkuat posisi mereka. [ASHikam]

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Buruknya Komunikasi Publik Ihwal Kenaikan BBM"