Bagi pihak yang tidak menggunakan perspektif Konstitusionalisme, mungkin statemen NW mungkin dianggap menentang supremasi agama (Islam) dalam kehidupan ummatnya. Bukankah Islam adalah sistem yang total (kaffah)? Jadi memposisikan keislaman sebagai komplemen dari keindonesiaan atau kebangsaan apapun ia dianggap sebuah penyangkalan terhadap supremasi tersebut. Namun bagi pemahaman Gusdurian, kekaffahan Islam adalah pada tataran teologis bukan pada tataran praksis politik. Dengan demikian masih ada ruang bagi keberadaan berbagai sistem dan praksis kenegaraan, politik, sosial, budaya dll yg dikembangkan sesuai konteks kesejarahan dan struktur sosial yang berbeda-beda. Islam, tidak memaksakan hanya satu sistem kenegaraan seperti misalnya Negara Islam atau Khilafah Islam. Yang penting adalah Islam menjadi salah satu sumber nilai-nilai moral dan etis yang menjadi landasan sistem tersebut.
Jadi debat tentang keindonesiaan dan keislaman memang masih akan terus berlangsung, dan itu wajar-wajar saja. Yang tidak wajar dan berbahaya adalah jika kemudian muncul pemaksaan pemahaman apalagi yang secara serampangan mengadili dan mengafirkan pemahaman lain. Dan sayangnya, kemungkinan inilah yang masih sangat terbuka.[ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam, Jumat 17 Oktober 2014
0 Response to "Relasi Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Islam-an"