Selamat Datang - Wellcome

Mana Yang Layak di Banggakan: Jokowi atau Fahri?

SUARA KAMI - Wakil Ketua DPR-RI yang terhormat dari Partai Keadilan Sosial (PKS), Fahri Hamzah (FH), tentu berhak untuk tidak mengapresiasi atau tidak berbangga ketika Presiden Jokowi bertemu dengan penemu dan pendiri jejaring sosial Facebook, Mark Zuckenberg (MZ) di Jakarta kemaren (Senin, 13 Oktober 2014). Dan ia juga berhak menghimbau dan mengajak publik untuk mengikutinya. Tetapi publik juga berhak untuk menilai apakah alasan yang digunakan FH bisa dipertimbangkan, diterima, dan bahkan diikuti, atau sebaliknya. Sebagai seorang pemimpin lembaga tinggi negara, omongan FH tentu tidak bisa disamakan dengan omongan rakyat biasa seperti saya, karena dia akan menjadi referensi rakyat Indonesia. FH bukan hanya referensi bagi para anggota, kader, dan simpatisan PKS saja, dan omongannya dg cepat akan menyebar ke seluruh dunia. Dengan demikian pengaruh omongan FH jelas sangat besar dan bahkan sampai tingkat tertentu mewakili sebagaian dari bangsa kita.

Kompas.com
Presiden terpilih yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menerima CEO Facebook Mark Zuckerberg di Balaikota Jakarta, Senin (23/10/2014) pagi.
Alasan FH mengapa pertemuan kedua tokoh tsb tidak perlu dibanggakan adalah karena 'pertemuan itu hanya mempertegas bahwa Jokowi adalah "kekasih" media sosial..' atau dengan kutipan yang langsung dari mulut FH: "Jokowi memang the darling of social media.." demikian seperti dilansir oleh Kompas.com (Senin, 13 Oktober 2014). Alasan berikutnya adalah karena facebook dan jejaring sosial adalah fenomena "dunia maya" yang berbeda dengan "dunia nyata." Karena itu, masih menurut FH, tidak ada yang perlu dibanggakan. Mengutip omongan FH lagi, "(k)ita bertanya-tanya, apakah kita ada di dunia maya atau dunia nyata? Yang nyata adalah listrik mati, jembatan putus. Di luar itu, ini adalah dunia maya, jangan kita berbangga-bangga." Saya tidak tahu persis apakah dengan demikian, dalam pandangan FH, berarti fakta bahwa Jokowi berhasil menjadi Presiden RI ke 7 hanyalah fenomena "maya" saja, bukan dunia nyata, atau sebagian besar hanya fenomena maya, dan yang nyata hanya kecil saja?. Wallahu a'lam.

Terlepas dari apa maksud yang sebenarnya, buat saya, dua alasan yang dikemukakan FH tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, bahkan lebih jauh lagi ada terbersit hipokrisi di sana. Secara nalar, kalaupun Jokowi benar sebagai "darling of the media", termasuk dan khususnya jejaring media sosial (medsos), apakah fakta itu sendiri tidak layak dibanggakan? Bukankah fenomena medsos telah berdampak sangat luas dan mendalam terhadap perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia di segala bidang, termasuk ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta hankam? Bukankah PKS sendiri adalah parpol yang sangat terkemuka dalam memanfaatkan medsos dalam kiprahnya memperluas pengaruhnya di seluruh Indonesia bahkan dunia. Sehingga PKS sendiri berhak untuk dibanggakan sebagai salah satu fenomena media sosial paling top di negeri ini. Lebih jauh lagi, apakah FH sendiri bukan salah satu "darlings of the media" dan menjadi sohor (dalam arti positif maupun negatif) gara-gara sosmed juga?

Kemudian, terkait dengan alasan kedua yakni dikotomi antara dunia maya dan dunia nyata, pertanyaan saya adalah apakah lalu keduanya begitu terpisah dalam kehidupan manusia, sehingga yang satu menegaskan yang lain? Bukankah apa yang nyata seringkali merupakan implikasi dan perwujudan dari yang maya, misalnya gagasan, pikiran, harapan, dan imajinasi? Saya tidak yakin bahwa dalam kehidupan keseharian FH sendiri, misalnya, ia bisa dengan sangat tegas memisahkan antara apa yang maya dan nyata lalu hanya peduli dengan yang disebut terakhir itu saja!. Dalam kehidupan dan karirnya sebagai politisi, bukankah FH setiap saat menggunakan kombinasi dr "maya-nyata", misalnya saat berpidato, berceramah, dan berwacana. FH tentu sangat fasih memakai argumentasi yang bersumber dari hal-hal yang 'maya' seperti ajaran agama, ideologi, cita-cita, dll?. Lalu apakah kemudian orang harus menampik semua omongan FH karena semuanya berbau ke-'mayaan' itu? Lagi-lagi saya membaui aroma hipokrisi di sini.

Walhasil, jika hanya dua alasan itu yang diajukan oleh FH untuk mengajak orang tidak berbangga pada Jokowi dan pertemuannya dengan MZ, saya tidak bisa menerimanya apalagi mengikuti anjuran tsb. Kualitas omongan FH hanyalah sebuah indikasi orang yang "sirik tanda tak mampu" saja. Paling jauh, omongan tersebut adalah salah satu dari sekian banyak demagogi politik murahan yang seringkali muncul dari FH. Bukan saja demagogi tsb tidak mendidik rakyat Indonesia, tetapi malah beresiko merendahkan nama lembaga tinggi negara yang namanya DPR. Karena lembaga yang semestinya prestisius seperti Parlemen ternyata dipimpin oleh politisi yang lebih mengedepankan rasa sirik dan melupakan pentingnya kesantunan. Saya terus terang dalam hal ini lebih berbangga pada Presiden Jokowi ketimbang pada Wakil Ketua DPR yang terhormat, FH. Saya tidak tahu bagaimana dengan anda... [ASHikam]

Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Mana Yang Layak di Banggakan: Jokowi atau Fahri?"