Kompas.com
Presiden terpilih yang masih menjabat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menerima CEO Facebook Mark Zuckerberg di Balaikota Jakarta, Senin (23/10/2014) pagi.
|
Terlepas dari apa maksud yang sebenarnya, buat saya, dua alasan yang dikemukakan FH tidak bisa dipertanggungjawabkan secara nalar, bahkan lebih jauh lagi ada terbersit hipokrisi di sana. Secara nalar, kalaupun Jokowi benar sebagai "darling of the media", termasuk dan khususnya jejaring media sosial (medsos), apakah fakta itu sendiri tidak layak dibanggakan? Bukankah fenomena medsos telah berdampak sangat luas dan mendalam terhadap perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia di segala bidang, termasuk ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya, serta hankam? Bukankah PKS sendiri adalah parpol yang sangat terkemuka dalam memanfaatkan medsos dalam kiprahnya memperluas pengaruhnya di seluruh Indonesia bahkan dunia. Sehingga PKS sendiri berhak untuk dibanggakan sebagai salah satu fenomena media sosial paling top di negeri ini. Lebih jauh lagi, apakah FH sendiri bukan salah satu "darlings of the media" dan menjadi sohor (dalam arti positif maupun negatif) gara-gara sosmed juga?
Kemudian, terkait dengan alasan kedua yakni dikotomi antara dunia maya dan dunia nyata, pertanyaan saya adalah apakah lalu keduanya begitu terpisah dalam kehidupan manusia, sehingga yang satu menegaskan yang lain? Bukankah apa yang nyata seringkali merupakan implikasi dan perwujudan dari yang maya, misalnya gagasan, pikiran, harapan, dan imajinasi? Saya tidak yakin bahwa dalam kehidupan keseharian FH sendiri, misalnya, ia bisa dengan sangat tegas memisahkan antara apa yang maya dan nyata lalu hanya peduli dengan yang disebut terakhir itu saja!. Dalam kehidupan dan karirnya sebagai politisi, bukankah FH setiap saat menggunakan kombinasi dr "maya-nyata", misalnya saat berpidato, berceramah, dan berwacana. FH tentu sangat fasih memakai argumentasi yang bersumber dari hal-hal yang 'maya' seperti ajaran agama, ideologi, cita-cita, dll?. Lalu apakah kemudian orang harus menampik semua omongan FH karena semuanya berbau ke-'mayaan' itu? Lagi-lagi saya membaui aroma hipokrisi di sini.
Walhasil, jika hanya dua alasan itu yang diajukan oleh FH untuk mengajak orang tidak berbangga pada Jokowi dan pertemuannya dengan MZ, saya tidak bisa menerimanya apalagi mengikuti anjuran tsb. Kualitas omongan FH hanyalah sebuah indikasi orang yang "sirik tanda tak mampu" saja. Paling jauh, omongan tersebut adalah salah satu dari sekian banyak demagogi politik murahan yang seringkali muncul dari FH. Bukan saja demagogi tsb tidak mendidik rakyat Indonesia, tetapi malah beresiko merendahkan nama lembaga tinggi negara yang namanya DPR. Karena lembaga yang semestinya prestisius seperti Parlemen ternyata dipimpin oleh politisi yang lebih mengedepankan rasa sirik dan melupakan pentingnya kesantunan. Saya terus terang dalam hal ini lebih berbangga pada Presiden Jokowi ketimbang pada Wakil Ketua DPR yang terhormat, FH. Saya tidak tahu bagaimana dengan anda... [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Mana Yang Layak di Banggakan: Jokowi atau Fahri?"