Walau Tim Transisi yang dibentuk jauh hari telah bekerja, dan salah satu fungsinya adalah membantu Presiden terpilih dalam masalah Kabinet, tetapi ia tidak bisa diharapkan membuat proses seleksi akan cepat. Pasalnya, Tim hanya memiliki wewenang terbatas, termasuk melakukan proses seleksi kandidat anggota Kabient sampai pada level tertentu, misalnya kualifikasi mereka secara umum. Tetapi keputusan terakhir tetap saja ada pada pemegang kekuasaan politik. Dan kendati secara konstitusional Presiden Jokowi memiliki hak prerogatif untuk menunjuk siapa saja menjadi pembantunya, tetapi penggunaan hak itupun tetap harus sangat berhati-hati karena bukan saja menentukan kualitas dan kinerja Kabinet, tetapi implikasinya terkait kepentingan nasional dan bahkan keamanan nasional.
Dengan demikian, kalau kini di ruang publik marak berkembang wacana "keterlambatan" dan "penundaan" pengumuman Kabinet, maka wacana tersebut harus dipahami bukan dari masalah legal formal tetapi dari sudut politik. Sumber masalah kerumitan pembentukan Kabinet bisa dari faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berupa kendala prosedural dan tarik menarik antara para pemangku kepentingan dan elite politik termasuk Presiden, Wapres, pimpinan-pimpinan parpol, dan juga para "sponsor" dari luar. Jika kendala-kendala ini belum terselesaikan secara memuaskan maka proses penentuan otomastis akan berkepanjangan sampai tenggat waktu datang.
Faktor eksternal termasuk reaksi dari pihak parpol opisisi (Koalisi Merah Putih / KMP), media massa, reaksi pasar, dan opini publik (termasuk pandangan pengamat) yang pada gilirannya ikut menciptakan suasana dan kesan bahwa Presiden Jokowi terlambat dan melakukan penundaan tersebut.
Hemat saya, faktor internal lebih dominan dan menentukan ketimbang eksternal, karena segera setelah Pilpres 2014 usai, Presiden Jokowi harus menghadapi tekanan dan sekaligus mengelola konflik kepentingan dari berbagai penjuru, khususnya ketua-ketua parpol dan para sponsor politik. Figur seperti Megawati (MS), Wiranto (W), Surya Paloh (SP), dan Imin (MI) tentu harus didengar usulnya dan mereka bahkan bisa menekan Jokowi dengan "ancaman" dukungan politik. Belum lagi posisi Jusuf Kalla (JK) yang juga sangat berpengaruh dalam membawa usulan dari para "sponsor" Pilpres. Presiden Jokowi, kendati punya hak prerogatif, tetap harus berhati-hati menghadapi mereka. Bahkan, rekomendasi KPK dan PPATK pun tidak bisa serta merta digunakan untuk menolak mentah-mentah usulan parpol dan sponsor tersebut. Sebab, selain soal kebersihan dari korupsi, masih ada variabel-variabel lain yang juga mesti dipertimbangkan, termasuk politik dan balas budi.
Posisi politik Presiden Jokowi tidak sama dengan Presiden SBY ketika beliau membentuk Kabinet. Selain dalam hal paradigma, juga realitas dukungan parpol yang dimiliki keduanya sangat berbeda pula. Itu sebabnya kendati sudah membentuk Tim Transisi, Presiden Jokowi tidak bisa segera menyusun Kabinet, termasuk menggunakan hak prerogatif sebagai Kepala Pemerintahan, seperti Pak SBY dulu.
Prediksi saya, susunan Kabinet Trisakti 2014-2019 nanti masih akan merupakan sebuah hasil kompromi politik maksimal yang bisa dicapai oleh Presiden Jokowi. Respon dan dukungan dari publik yang positif di masa awal kepresidenan beliau, menjadi sangat penting pengaruhnya apakah beliau dan crewnya bisa segera bekerja atau masih harus menghadapi situasi yang belum kondusif. Berhubung opini publik kita sangat rentan terhadap pengaruh media, maka strategi komunikasi publik dan manajemen opini publik adalah pekerjaan rumah yang paling penting dari Istana Negara. [ASHikam]
Catatan Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Keniscayaan Kompromi Politik dalam Penentuan Kabinet Presiden Jokowi"