SUARA KAMI - Seakan belum cukup kericuhan yang dilakukan sebagian Fraksi Di DPR kemarin, hari ini (Rabu, 29 Oktober 2014) muncul lagi "kekonyolan politik" yang lain: Mosi tidak percaya dari kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terhadap lima pimpinan DPR-RI dan pembentukan pimpinan DPR tandingan.
Saya mengatakan bahwa ini adalah sebuah "kekonyolan politik", karena:
1) Manuver KIH ini bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah krisis politik yang serius ketika Pemerintah Presiden Jokowi baru berusia kurang dari 10 hari;
2) Apakah ada landasan hukum, termasuk Tatib di DPR, yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk membuat sebuah mosi tidak percaya dan membentuk sebuah kepemimpinan tandingan?. Jika tidak ditemukan, maka manuver ini akan gagal bahkan sebelum mulai;
3) Upaya KIH meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang MD-3, belum tentu akan berhasil dan/atau menghentikan konflik dan krisis di Parlemen.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa pertarungan antara Koalisi Merah Putih (KMP) vs KIH masih terus berlangsung dan bahkan makin seru, kendati konon sudah terjadi rekonsiliasi antara Presiden Jokowi dengan Ketua umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto (PS) beberapa waktu lalu. Babak baru pertarungan ini terjadi ketika perebutan posisi pimpinan alat-alat kelengkapan di DPR secara tuntas dan sapu bersih dimenangkan oleh KMP. Kini skor kemenangan KMP adalah 6:0 melawan KIH di Parlemen. Dan mungkin karena merasa sudah tidak ada jalan kompromi politik lagi, maka KIH mengambil jalan yang radikal dan tak biasa: mosi tidak percaya dan membentuk kepemimpinan tandingan di DPR!
Masih perlu dilihat apakah manuver ini hanya "bluffing" politik atau langkah serius yang mencoba merombak total kepemimpinan DPR di bawah KMP. Jika yang kedua yang terjadi, ini tentu akan menyeret para pendukung masing-masing kubu di luar Parlemen dan bahkan gema serta dampaknya bisa sampai di akar rumput. Sebab jika terjadi dead lock dalam proses politik di DPR, maka otomatis akan sangat mempengaruhi agenda kerja Pemerintah yang harus segera dibahas di Parlemen. Jika Pemerintah mengakomodasi kepentingan politik hanya dari salah satu kubu, maka probabilitas terjadinya konflik politik antara Pemerintah dan DPR akan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan memicu terjadinya krisis politik yang implikasinya tentu sampai di masyarakat luas di seluruh negeri.
Siapa yang akan diuntungkan jika krisis tersebut terjadi? Yang jelas bukan rakyat dan negara Republik Indonesia. Paling-paling yang akan berebut adalah para elit politik yang hanya memikirkan diri sendiri dan kepentingan jangka pendek mereka. Dan krisis ini jika tdak tertanggulangi secepatnya akan bisa menghancurkan Reformasi dan demokrasi yang masih belum cukup kokoh di negeri ini. Kita semua sudah bisa menduga, siapa yang paling senang dan diuntungkan jika demokrasi di Republik ini hancur dan negeri ini kembali dikuasai rezim anti demokrasi. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam, Rabu, 29 Oktober 2014.
Saya mengatakan bahwa ini adalah sebuah "kekonyolan politik", karena:
1) Manuver KIH ini bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah krisis politik yang serius ketika Pemerintah Presiden Jokowi baru berusia kurang dari 10 hari;
2) Apakah ada landasan hukum, termasuk Tatib di DPR, yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk membuat sebuah mosi tidak percaya dan membentuk sebuah kepemimpinan tandingan?. Jika tidak ditemukan, maka manuver ini akan gagal bahkan sebelum mulai;
3) Upaya KIH meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) tentang MD-3, belum tentu akan berhasil dan/atau menghentikan konflik dan krisis di Parlemen.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa pertarungan antara Koalisi Merah Putih (KMP) vs KIH masih terus berlangsung dan bahkan makin seru, kendati konon sudah terjadi rekonsiliasi antara Presiden Jokowi dengan Ketua umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto (PS) beberapa waktu lalu. Babak baru pertarungan ini terjadi ketika perebutan posisi pimpinan alat-alat kelengkapan di DPR secara tuntas dan sapu bersih dimenangkan oleh KMP. Kini skor kemenangan KMP adalah 6:0 melawan KIH di Parlemen. Dan mungkin karena merasa sudah tidak ada jalan kompromi politik lagi, maka KIH mengambil jalan yang radikal dan tak biasa: mosi tidak percaya dan membentuk kepemimpinan tandingan di DPR!
Masih perlu dilihat apakah manuver ini hanya "bluffing" politik atau langkah serius yang mencoba merombak total kepemimpinan DPR di bawah KMP. Jika yang kedua yang terjadi, ini tentu akan menyeret para pendukung masing-masing kubu di luar Parlemen dan bahkan gema serta dampaknya bisa sampai di akar rumput. Sebab jika terjadi dead lock dalam proses politik di DPR, maka otomatis akan sangat mempengaruhi agenda kerja Pemerintah yang harus segera dibahas di Parlemen. Jika Pemerintah mengakomodasi kepentingan politik hanya dari salah satu kubu, maka probabilitas terjadinya konflik politik antara Pemerintah dan DPR akan tinggi. Hal ini pada gilirannya akan memicu terjadinya krisis politik yang implikasinya tentu sampai di masyarakat luas di seluruh negeri.
Siapa yang akan diuntungkan jika krisis tersebut terjadi? Yang jelas bukan rakyat dan negara Republik Indonesia. Paling-paling yang akan berebut adalah para elit politik yang hanya memikirkan diri sendiri dan kepentingan jangka pendek mereka. Dan krisis ini jika tdak tertanggulangi secepatnya akan bisa menghancurkan Reformasi dan demokrasi yang masih belum cukup kokoh di negeri ini. Kita semua sudah bisa menduga, siapa yang paling senang dan diuntungkan jika demokrasi di Republik ini hancur dan negeri ini kembali dikuasai rezim anti demokrasi. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam, Rabu, 29 Oktober 2014.
0 Response to "DPR Tandingan Kubu KIH dan Potensi Krisis Politik"