Semestinya AA, dan para politis KMP lainnya, berusaha melakukan pendinginan suhu politik dengan memberikan respon yang kritis tetapi konstruktif. Sebab jika respon yang muncul malah provokatif maka yang terjadi adalah semakin meningkatnya pemanasan suhu politik di Parlemen yang tentu akan berimbas di Pemerintahan dan bahkan di masyarakat.
Statemen AA bahwa "(b)ila alasannya tak puas dengan terpilihnya alat kelengkapan dewan, kami pun bisa menggunakan alasan tersebut untuk membuat presiden tandingan..," (Merdeka.com, Kamis, 30 Oktober 2014) sesungguhnya lebih mencerminkan sebuah ekspressi sikap mau menang sendiri dan arogansi karena sedang dalam posisi menang. Padahal kemenangan yang diperolehnya, belum tentu legitim dan belum menjamin efektifitas kinerja. Kemenangan KMP dalam menyapu bersih semua posisi pimpinan di DPR dan MPR, adalah hasil sebuah rekayasa politik yang masih belum kokoh karena masih berusia singkat dan belum teruji kiprahnya.
Legitimasi kemenangan KMP di Parlemen pun masih pada tataran politis, sementara secara legal formal kini sedang menghadapi tantangan. Apalagi jika ditinjau dari aspek legitimasi moral yang berasal dari dukungan publik, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa kemenangan KMP akan kokoh. Ini semua masih memerlukan waktu dan KMP mesti menjaga jangan sampai kemenangan tersebut malah menjadi bumerang politik manakala para politisinya dipersepsikan negatif oleh publik dan pasar.
Hemat saya, secara substantif omongan AA juga bisa dipertanyakan validitasnya. Perbandingan yang dia buat antara pemberian jatah pimpinan dewan dengan jatah menteri di kabinet, jelas terlalu serampangan. Sebab aturan main antara penyusunan anggota Kabinet sebagai Pembantu Presiden terpilih, jelas sekali berbeda dengan penyusunan kepemimpinan di lembaga legislatif. Retorika AA hanya semacam "othak-athik gathuk" semata yang mengabaikan aspek aturan yang secara jelas tidak bisa dicampuradukkan. Ini menunjukkan bahwa reaksi AA dan politisi KMP yang sepakat dengannya hanya sebuah respon agitatif dan provokatif yang bisa berdampak lebih memperparah konflik.
Manuver KIH dan respon sementara politisi KMP yang provokatif, kedua sama sekali tidak membantu mempercepat terjalinnya sebuah relasi yang konstruktif antara Parlemen dan Pemerintah Jokowi-JK. Malah sebaliknya, jika manuver dan counter manuver itu terus terjadi, maka proses ketatanegaraan akan mengalami kemacetan (gridlock) dan bisa membawa kepada krisis yang lebih besar. Masih ada waktu bagi kedua kubu koalisi tersebut untuk mencari solusi yang bisa menurunkan suhu politik dan pada gilirannya menenangkan rakyat Indonesia. Dimulai dengan menghimbau para politisi Senayan untuk tidak mengumbar statemen dan retorika provokatif seperti yang dilontarkan AA. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Setelah DPR Tandingan, Lalu Presiden Tandingan"