SUARA KAMI - Kenapa Polri tidak pernah kapok membuat blunder dengan kasus-kasus penagkapan semena-mena dengan dalih "pencemaran nama baik" yang sebenarnya tidak perlu, dan malah kontra-produktif itu? Saya mempertanyakan, apakah Polri sedang mengalami krisis percaya diri yang begitu mendalam sehingga perlu-perlunya bertingkah seperti itu? Ataukah ini cuma sekadar ekonomisme dalam nalar yang kini berkecamuk dan hegemonik di lingkaran elite Polri? Atau ini semacam bahan untuk politisasi agar Presiden Jokowi terkena "awu anget" alias abu panas dari serangan-serangan terhadap beliau sebagai implikasi penangkapan terhadap AM?
MA (23) tak menyangka tulisan di akun Facebook miliknya berujung bencana. MA ditahan Bareskrim Mabes Polri karena diduga melakukan pencemaran nama baik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Okezone.com, Selasa, 28 Oktober 2014).
Kasus "bully membully" terhadap Capres Jokowi seharusnya diletakkan dalam proporsi yang tepat dan dalam konteks yang layak. Bullying di media sosial (medsos) pada masa kampanye Pilpres atau Pileg merupakan salah satu dari dampak dan resiko dari keterbukaan politik yang ada dan, konsekuensinya, pihak aparat penegak hukum harus menyiapkan diri menghadapinya. Termasuk dalam hal ini, memahami dinamika masyarakat dan bagaimana menyikapi pelaksanaan hak asasi tersebut secara proporsional. Bukan cuma main tangkap yang terkesan tidak konsisten dan serampangan. Bukankah kalau Polri mau konsisten maka ia harus juga menangkap semua pembully capres lainnya, Prabowo Subianto (PS)?. Apalagi dalam proses menangkap si MA itu Polri melakukannya tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan atau dicemarkan. Padahal katanya pencenaran nama baik adalah delik aduan dan Jokowi pada saat itu belum jadi Presiden. Sehingga beliau belum bisa dikategorikam sebagai lambang negara yang jika dilecehkan maka bukan lagi merupakan delik aduan.
Celakanya, kasus penangkapan lebay ini bisa digoreng menjadi sebuah politisasi dan alat propaganda yang berpotensi merugikan Presiden dan Pemerintahannya yang masih baru. Perilaku lebay Polri bisa diinterpretasikan seolah-olah Presiden baru ini menggunakan kekuasaan untuk membungkam para pengritik. Padahal faktanya sangat berbeda: Jokowi adalah sosok yang tidak takut dengan segala macam kritik, kecaman, bully, dll, selama beliau menjadi pejabat mulai Walikota sampai RI-1. Justru karena kesabaran beliau yang sangat mencolok saat dibully itu sehingga ucapan "aku rapopo" (saya gak apa-apa) dengan cepat menjadi ikon dan 'trade mark' Presiden Jokowi yang dikenal di seluruh tanah air, karena hal itu menunjukkan toleransi terhadap perbedaan ysng dimiliki wong Solo ini.
Seharusnya, kasus-kasus yang sering diberi label "pencemaran nama baik" itu membuat Polri lebih introspektif dan waspada dalam bertindak, tanpa mengurangi hak dan wewenangnya sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan publik di negeri ini, agar dirinya tidak semakin dicitrakan buruk oleh publik. Jangan sampai gara-gara tindakan yang lebay itu malah menciptakan maraknya teori konspirasi bahwa penangkapan MA ini adalah refleksi adanya saling jebak di antara oknum-oknym elit Polri yang sedang cari muka kepada Presiden baru. Dan yang lebih penting lagi, Polri jangan terkesan hanya berani kalau menghadapi rakyat kecil seperti AM yang seorang pekerja tusuk sate itu. Polri mestinya lebih giat menangkapi koruptor dan pelaku kekerasan yang berbahaya bagi Republik ini. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
Ilustrasi
MA (23) tak menyangka tulisan di akun Facebook miliknya berujung bencana. MA ditahan Bareskrim Mabes Polri karena diduga melakukan pencemaran nama baik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Okezone.com, Selasa, 28 Oktober 2014).
Kasus "bully membully" terhadap Capres Jokowi seharusnya diletakkan dalam proporsi yang tepat dan dalam konteks yang layak. Bullying di media sosial (medsos) pada masa kampanye Pilpres atau Pileg merupakan salah satu dari dampak dan resiko dari keterbukaan politik yang ada dan, konsekuensinya, pihak aparat penegak hukum harus menyiapkan diri menghadapinya. Termasuk dalam hal ini, memahami dinamika masyarakat dan bagaimana menyikapi pelaksanaan hak asasi tersebut secara proporsional. Bukan cuma main tangkap yang terkesan tidak konsisten dan serampangan. Bukankah kalau Polri mau konsisten maka ia harus juga menangkap semua pembully capres lainnya, Prabowo Subianto (PS)?. Apalagi dalam proses menangkap si MA itu Polri melakukannya tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan atau dicemarkan. Padahal katanya pencenaran nama baik adalah delik aduan dan Jokowi pada saat itu belum jadi Presiden. Sehingga beliau belum bisa dikategorikam sebagai lambang negara yang jika dilecehkan maka bukan lagi merupakan delik aduan.
Celakanya, kasus penangkapan lebay ini bisa digoreng menjadi sebuah politisasi dan alat propaganda yang berpotensi merugikan Presiden dan Pemerintahannya yang masih baru. Perilaku lebay Polri bisa diinterpretasikan seolah-olah Presiden baru ini menggunakan kekuasaan untuk membungkam para pengritik. Padahal faktanya sangat berbeda: Jokowi adalah sosok yang tidak takut dengan segala macam kritik, kecaman, bully, dll, selama beliau menjadi pejabat mulai Walikota sampai RI-1. Justru karena kesabaran beliau yang sangat mencolok saat dibully itu sehingga ucapan "aku rapopo" (saya gak apa-apa) dengan cepat menjadi ikon dan 'trade mark' Presiden Jokowi yang dikenal di seluruh tanah air, karena hal itu menunjukkan toleransi terhadap perbedaan ysng dimiliki wong Solo ini.
Seharusnya, kasus-kasus yang sering diberi label "pencemaran nama baik" itu membuat Polri lebih introspektif dan waspada dalam bertindak, tanpa mengurangi hak dan wewenangnya sebagai penegak hukum dan penjaga keamanan publik di negeri ini, agar dirinya tidak semakin dicitrakan buruk oleh publik. Jangan sampai gara-gara tindakan yang lebay itu malah menciptakan maraknya teori konspirasi bahwa penangkapan MA ini adalah refleksi adanya saling jebak di antara oknum-oknym elit Polri yang sedang cari muka kepada Presiden baru. Dan yang lebih penting lagi, Polri jangan terkesan hanya berani kalau menghadapi rakyat kecil seperti AM yang seorang pekerja tusuk sate itu. Polri mestinya lebih giat menangkapi koruptor dan pelaku kekerasan yang berbahaya bagi Republik ini. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Bully FB Terhadap Jokowi dan Tindakan Lebay POLRI"