Selamat Datang - Wellcome

Kegalauan SBY Jelang Akhir Jabatan Presiden

SUARA KAMI - Catatan Prof. Muhammad AS Hikam 30 September 2014 di Paris. Demikian tulisannya melalui Akun Facebook Pribadi beliau.

"Kurang dari sebulan masa tugas Pak SBY paripurna, ia bukannya diwarnai dengan doa dan rasa duka rakyat karena harus berpisah, tetapi malah sebaliknya. Sebuah ironi yang akan tercatat dalam sejarah politik dan pemerintahan kita"

Prof. Muhammad AS HikamSambil menunggu kantin hotel buka untuk sarapan, saya browsing portal berita dari tanah air. Dan inilah yang saya temukan: kabar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) urung untuk menolak tanda tangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) (Kompas.com, Selasa, 30 September 2014) . Alasannya, karena advis Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva (HZ) agar tetap ditandatangani karena toh Mendagri yang mewakili Pemerintah juga sudah setuju sewaktu di DPR.

Terus terang, dalam susana pagi musim gugur yang muram karena mendung dan hujan di Paris ini, perasaan saya makin 'ngungun' membaca kabar ini. Pertanyaan saya, kenapa untuk urusan sepele begini harus repot-repot dengan dramatisasi begini?

Bukankah publik yang awam pun sudah sangat paham bahwa tanda tangan Presiden tidak diperlukan agar sebuah UU yang sudah ditetapkan di DPR berlaku? Apalagi sudah begitu bejibun komentar dan analisa pakar hukum soal yang satu ini. Jadi satu-satunya yang bisa saya pahami kenapa kerepotan ini dilakukan adalah bahwa ini semua merupakan refleksi kebingungan plus kegalauan yang dihadapi Pemerintah (khususnya Presiden SBY) setelah menghadapi reaksi publik yang amat sangat negatif pasca-penetapan UU Pilkada.

Kebingungan dan kegalauan ini kian menjadi-menjadi karena dicoba ditutup dengan drama atau dagelan yang ditolak publik dan malah bikin orang hilang simpati. Publik makin berkurang simpatinya dengan jurus mbulet seperti ini karena kesannya Pemerintah terlalu menganggap remeh publik, seolah tidak punya daya kritis sama sekali.

Walhasil semakin Pemerintah mencoba melakukan manuver untuk meraih simpati rakyat justru berbalik. Karena manuver-manuver tersebut hampir semuanya ternyata ekonomis dalam kejujuran. Ujung-ujungnya, kurang dari sebulan masa tugas Pak SBY paripurna, ia bukannya diwarnai dengan doa dan rasa duka rakyat karena harus berpisah, tetapi malah sebaliknya. Sebuah ironi yang akan tercatat dalam sejarah politik dan pemerintahan kita. [ASHikam]

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam, 30 September 2014 di Paris.

0 Response to "Kegalauan SBY Jelang Akhir Jabatan Presiden"