Selamat Datang - Wellcome

Agama dan Genosida Di Myanmar

SUARA KAMI - Stereotipe yang kini sedang marak di seluruh dunia adalah bahwa agama adalah sumber dan wahana penyebar kebencian, fanatisisme, xenophobia, kekerasan, dan terorisme. Aksi terorisme dan kekerasan yang marak di Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika Utara, Asia Tenggara, dan mulai merembet ke benua Eropa dan Amerika, lebih sering ditudingkan kepada agama, terutama Islam. Seperti halnya semua stereotipe, ia jelas tidak sahih, tetapi memang ada elemen-elemen faktual di dalamnya. Misalnya. fakta bahwa pelaku-pelaku aksi tersebut kerap kali menggunakan atau mengklaim keabsahannya dengan mengatasnamakan Islam. Demikian pula aksi kekerasan di Oklahoma, dan Texas, Tokyo, dan Norwegia, yang mengatasnamakan ajaran Kristen. Kini stereotipe itu mendapat peneguhan oleh seorang Biksu dari Myanmar, Ashin Wirathu (AW) yang menggunakan ajaran agama Budha untuk menjustifikasi gagasan radikal dan aksi teror serta genosida terhadap etnis Rohingya.

Agama dan Genosida Di Myanmar - Ashin Wirathu, Biksu Radikal Dalang Penyiksaan Rohingya
Ashin Wirathu (Foto: The New York Times / Okezone.com)
Ashin Wirathu, Biksu Radikal Dalang Penyiksaan Rohingya
NAYPYIDAW - Ribuan orang Rohingya kabur dari tempat asal mereka di Myanmar. Kaum Rohingya yang mayoritas Muslim memilih mati di negeri orang ketimbang bertahan di negara mayoritas Buddha itu.

Rupanya, seorang biksu Buddha menjadi dalang di balik neraka bagi kaum Rohingya. Biksu bernama Ashin Wirathu itu menyebarkan kebencian ke tengah masyarakat Myanmar. Dia menanamkan ketakutan suatu saat kelompok Muslim minoritas akan menguasai negara yang dulu dikenal dengan nama Burma itu.

Kemunculan Ashin Wirathu

Sepuluh tahun lalu, publik belum pernah mendengar nama biksu dari Mandalay tersebut. Pria kelahiran 1968 itu putus sekolah pada usia 14 tahun. Setelah itu, dia memutuskan untuk menjadi biksu.

Nama Ashin Wirathu mencuat setelah dia terlibat dalam kelompok ekstremis antimuslim "969" pada 2001. Karena aksinya, pada 2003 dia dihukum 25 tahun penjara. Namun, pada 2010 dia sudah dibebaskan bersama dengan tahanan politik lainnya.

Ashin Wirathu Jadi Tokoh Masyarakat

Setelah peraturan Pemerintah Myanmar melonggar, Ashin Wirathu makin aktif bersuara di media sosial. Ashin menyebarkan pesan melalui rekaman ceramah yang diunggah di YouTube dan Facebook. Sampai saat ini, dia berhasil menjaring sekira 37 ribu pengikut.

Pada 2012, ketika pertumpahan darah antara Rohingya dan Buddhis terjadi di Provinsi Rakhine, Ashin semakin dikenal dengan pidato penuh amarahnya.

Ceramah dia selalu dimulai dengan kalimat yang berbunyi, "Apapun yang kamu lakukan, lakukanlah sebagai seorang nasionalis". Saat ditanya, apakah dia adalah "Bin Laden Burma", pria itu tidak menampiknya.

Keinginan Ashin Wirathu

Ashin Wirathu menyebarkan ajaran kebencian dalam setiap ceramahnya. Dia selalu menyasar komunitas Muslim, seringkali dia memojokkan Rohingya. Pria inilah yang memimpin demonstrasi yang mendesak orang-orang Rohingya direlokasi ke negara ketiga.

Ashin juga mengkambinghitamkan kaum Muslim atas bentrokan yang terjadi. Dia terus mengulang alasan tak masuk akal soal tingkat reproduksi Muslim yang tinggi.

Biksu itu mengklaim perempuan Buddhis dipaksa pindah agama. Dia memimpin kampanye yang mendesak Pemerintah Myanmar mengeluarkan peraturan yang melarang perempuan Buddhis menikah dengan pria beragama lain tanpa izin pemerintah.

Lawan Ashin Wirathu

Ashin memimpin sekelompok massa yang berani melakukan kekerasan demi mempertahankan pandangannya. Pengaruh kuat Ashin menyebabkan setiap orang yang berbeda pandangan akan menjadi target pendukungnya.

Masyarakat sesungguhnya takut dengan kekejaman kelompok Ashin. Namun, Ashin tetap mendapat dukungan banyak orang mengenai status kewarganegaraan Rohingya.

Tanggapan Biksu Lainnya

Banyak orang ingat peristiwa pada 2007 di Myanmar. Saat itu, para bisku buddha memimpin perlawanan terhadap kekuasaan mliter di Myanmar. Pesan Ashin saat itu tidak mendapat dukungan banyak orang.

Namun, banyak biksu di Myanmar yang memilih bungkam menghadapi Ashin. Sebagian lainnya, takut diserang Ashin. Sulit untuk memprediksi seberapa kuat pengaruh Ashin di kalangan biksu.

Ashin Wirathu memimpin lebih dari 2.500 biksu di biara Mandalay. Ketika ia menyelenggarakan konferensi mengenai perlindungan perempuan, para biksu memenuhi biaranya.

Beberapa biksu melontarkan kritikan atasnya. Seorang biksu bernama U Ottara mengaku kaget mendengar komentar-komentar yang disampaikan para biksu.

"Saya merasa sangat sedih. Saya bisa bilang, kata-kata yang mereka ucapkan bukanlah kata-kata yang digunakan seorang biksu," kata Ashin kepada BBC, Rabu (20/5/2015). Beberapa biksu khawatir bila kekejaman Ashin ditangkap dunia internasional sebagai representasi ajaran Buddha.

Alasan Pemerintah Myanmar Tidak Menghentikan Ashin Wirathu

Setelah hampir setengah abad dikuasai militer, kini Myanmar dipimpin oleh warga sipil. Namun, bentrokan antar agama memperlambat reformasi negara itu.

Sebagian orang percaya, Ashin diterima pemerintah kareana dia menyuarakan pendapat soal pandangan-pandangan populer, misalnya soal Rohingya. Ashin seolah menjadi corong pemerintah yang tidak bisa menyuarakan keinginannya sendiri karena alasan diplomatik.

Tanggapan Perempuan Myanmar

Kaum perempuan Myanmar adalah satu-satunya kelompok yang konsisten menentang pandangan Ashin Wirathu. "Dia memberi reputasi buruk untuk negara kita. Dia menodai jubah biksu yang dia gunakan," kata Sekretaris Jenderal Liga Perempuan Burma, Tin Tin Nyo.

Dia juga mengatakan, kampanye Ashin Wirathu yang mengusulkan peraturan yang membatasi perempuan menikahi pemeluk agama lain, bukanlah bentuk perlindungan perempuan melainkan bentuk kontrol atas perempuan.

"Perempuan dapat memutuskan sendiri siapa yang ingin dia nikahi. Perempuan dapat memilih sendiri agama yang ingin dianut," kata Tin Tin Nyo.(pam) - Disadur dari: Okezone.com, Rabu, 20 Mei 2015
Walaupun berasal dari agama Budha, gagasan dan aksi AW dan kelompoknya adalah tipikal gagasan dan aksi radikal kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama lainnya: klaim kebenaran mutlak, kebencian terhadap pihak yg bukan seagama atau yang seagama tetapi tak sepakat dengannya, dan penghalalan penggunaan kekerasan serta teror. Orang-orang seperti AW ini menjadi makin beringas dan tak terkontrol ketika negara melakukan pembiaran, seperti yang dilakukan oleh rejim militer Myanmar. Teror terhadap etnis Rohingya, yang beragama Islam tetapi dianggap bukan bagian dari warganegara Myanmar, diabsahkan dan diberkati oleh AW serta dibiarkan oleh negara.

Penguasa militer Myanmar mungkin menganggap radikalisme AW dan kelompok 969-nya berguna secara politis dalam rangka mengeliminir etnis yang tidak dikehendaki kehadiran dan eksistensinya. Rezim militer secara tidak langsung "membiarkan" dan 'berkolaborasi" dg AW dkk dlm melakukan genosida atau pembersihan etnis (ethnic cleansing) thd suku Rohingya. Dalam hal ini, AW mensuplai legitimasi keagamaan melalui fatwa-2 dan propaganda kebencian (hate speeches) secara massif dan terstruktur, serta anak buahnya berpartisipasi dalam genosida tsb. Sementara itu rezim militer Myanmar melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi itu dengan dalih bhw etnik tsb bukan warganegara dan ancaman bagi keamanan nasional.

Kalau di Irak, Syria ada ISIS dan Al-Qaeda, di Pakistan dan Afghanistan ada Taliban dan Alqaeda, di Nigeria ada Boko Haram, di Somalia ada As-Shabab, maka di Myanmar ada kelompok 969 yg dipimpin Biksu AW, di Jepang ada kelompok radikal Aum Shinrikyo, di AS ada kelompok-kelompok fundamentalis radikal Kristen seperti David Koresh dan Tim Veigh, di Norwegia ada Anders Breivik, dan seterusnya dan seterusnya. Walhasil, kekerasan berdalih ajaran agama bukanlah monopoli kelompok agama tertentu, dalam hal ini Islam atau Kristen. Ia adalah virus yang bisa menjangkiti semua penganut agama dan juga penganut ideologi sekuler.

Sama halnya dengan di negara-negara lain, penghentian teror yang dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar sangat tergantung kepada sikap negara dan para pemimpinnya menghadapi AW dan kelompok teror 969 yang dipimpinnya. Tanpa peran negara yang jelas dan tegas, maka para penyebar kebencian dengan mengatasnamakan ajaran agama seperti itu akan sulit dihentikan. Bukan berarti dengan demikian negara harus melakukan dan/atau menggunakan tindak kekerasan (penegakan hukum) semata, tetapi yang lebih mendesak adalah menyikapi ideologi-ideologi radikal secara efektif dengan mencegah tumbuh dan berkembangnya semenjak dini. Kekerasan dan terorisme bukanlah hanya urusan agama dan pemeluknya saja, tetapi juga menjadi urusan negara.

Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Agama dan Genosida Di Myanmar"