Selamat Datang - Wellcome

Kasus Asyani, Penegakan Hukum Atau Pentas Politik?

SUARA KAMI - Seandainya kasus-kasus yang memiliki kesamaan dengan kasus Nenek Asyani (NA) ini dijadikan satu, mungkin bukan lagi 'potret buram' penegakan hukum yang kita punya. Tetapi potret kehancuran sistem hukum negeri ini, karena hukum dan keadilan sudah tak lagi nyambung.

Kasus Asyani, Penegakan Hukum Atau Pentas Politik?
Portalkbr.com
Nenek Asyani di gendong oleh kuasa hukumnya Supariyono setelah penangguhan penahananya di kabulkan majlis hakim Pengadilan Negeri Situbondo. Foto:KBR/Hermawan

Proses peradilan NA bukan lagi merupakan penggelaran sebuah keadilan yang akan dicari dan temukan, tetapi lantas berubah menjadi arena perebutan dan pencitraan kuasa-kuasa. Proses peradilan itu menjadi sebuah pentas untuk investasi politik, mulai dari Menteri sampai Bupati, Wakil Bupati, pejabat Kejaksaan, PN, pengacara dll. NA barangkali masih menjadi pusat perhatian publik melalui media (harian nasional KOMPAS, misalnya, meletakkan kabar dan foto pengadilan ini di headlinenya Selasa,17/3/15). Tetapi fokus para 'investor politik', saya rasa bukanlah di sana. Mereka akan lebih mementingkan bagaimana proses dan hasil peradilan dari kasus ini menjadi wahana untuk meningkatkan citra dan menangguk perhatian dari publik, baik nasional maupun lokal.
Kasus Nenek Asyani Jadi Panggung Politik
Situbondo- Bupati Situbondo, Dadang Wigiarto dan Wakil Bupati, Rachmad sama-sama berkeinginan untuk menjadi penjamin penangguhan penahanan nenek Asyani tahun, Senin (16/3). Wakil Bupati Rachmad diketahui mengajukan diri sebagai penjamin melalui tim kuasa hukum Nenek Asyani, Supriyono. Sedangkan Bupati Dadang langsung menjadi penjamin tanpa lewat kuasa hukum. Bupati Dadang mengajukan sendiri surat jaminannya ke majelis hakim yang menyidangkan kasus Nenek Asyani.

Bupati Dadang Wigiarto mengatakan, pihaknya baru meminta penangguhan penahanan Asyani lantaran kasus Asyani baru ramai diberitakan media massa. Kata Dadang dirinya mendatangkan notaris Lukman Hakim ke Rumah Tahanan Situbondo untuk mengesahkan surat permohonan pengajuan penahanan nenek Asyani, Sabtu lalu.

“Karena yang berhak adalah terdakwa. Saya menerima apapun yang dikatakan dengan logowo saja yang penting apa yang mau kita ciptakan dengan suasana damai ini dengan tetap menegakkan hukum yang berlaku ini tetap bisa berjalan dengan baik. Posisi saya juga bukan pengacar,”kata Dadang Wigiarto (16/3).

Sementara itu, Pengajuan penangguhan tersebut diprotes tim kuasa hukum Asyani. Salah satu tim kuasa hukum dari LBH Nusantara Situbondo Supriyono, menyatakan kecewa karena Bupati Situbondo tidak berkoordinasi dengan pihaknya terlebih dahulu terkait dengan penagajuan penangguhan penahanan tersebut.

Bupati Situbondo, Dadang Wigiarto dan Wakil Bupati, Rachmad yang tengah bersaing menjadi penjamin penangguhan penahanan nenek Asyani diketahui akan bersaing dalam pemilihan kepala daerah mendatang.

Kasus yang menjerat Asiyani bermula dari laporan Perhutani ke Polsek Jatibenteng atas hilangnya sejumlah kayu jati di kawasan Jatibenteng pada Juli 2014. Polisi lalu melakukan penyelidikan dengan memeriksa tukang kayu bernama Sucipto.

Dari hasil penyelidikan tersebut, sejumlah kayu yang berada di tempat Sucipto persis seperti kayu milik Perhutani. Kayu-kayu tersebut ternyata kayu yang diantar oleh Asiyani. Alhasil, Asiyani dan Sucipto pun ditetapkan menjadi tersangka. Namun tidak hanya mereka berdua, menantu Sucipto bernama Ruslan dan pekerjanya Abdus Salam juga ikut jadi tersangka.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur, mengabulkan penangguhan penahanan yang diajukan Nenek Asyani, Senin (16/3) siang. Asyani didakwa mencuri 7 batang kayu jati.

Ketua Majlis Hakim, I Kadek Dedy Arcana menilai, wanita 63 tahun itu tidak mungkin ditahan karena kerap sakit-sakitan. “Menimbang bahwa dengan memperhatikan rasa kemanusiaan, karena kondisi terdakwa yang telah usia lanjut dalam rumah tahanan Situbondo," ujar Kadek. (portalkbr.com, Senin, 16/3/15)
Kasus-kasus semacam ini kian membuktikan betapa sia-sianya jika hukum, proses hukum, dan pencarian keadilan hanya dillihat dari satu dimensi yakni legal formalisme belaka. Hukum dan proses hukum sama sekali tidak pernah lepas dari penggelaran kuasa-kuasa melalui pencitraan, media, kekuatan politik, dll yang ada di luarnya. Dimensi legal formal lebih merupakan sebuah medium dan bukan faktor determinan. Apalagi klaim bahwa legal formalisme akan bisa memberikan dan menjamin rasa keadilan. Ia menjadi fatamorgana yang menipu dan menyesatkan.

Catatan Prof. Muhammad AS Hikam

0 Response to "Kasus Asyani, Penegakan Hukum Atau Pentas Politik?"