Langkah taktis kedua adalah membentuk tim 9 yang dimintai pandangan terhadap konflik yang muncul antara Polri dan KPK pasca penundaan pelantikan. Presiden Jokowi memilih hampir semua tokoh yang pro-KPK untuk menjadi anggota tim tsb, sehingga beliau benar-benar dipersepsikan mau mendengar pihak-pihak di luar elit. Kendati saran tim 9 tidak serta merta akan digunakan, tetapi rapor Presiden Jokowi sebagai pemimpin yang bukan tipe "petugas partai" pun tampak di mata publik.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, mengatakan Presiden Joko Widodo menginginkan lembaganya merekomendasikan nama baru untuk calon Kepala Kepolisian RI.
Pernyataan Jokowi itu, kata Adrianus, disampaikan saat bertemu dengan Komisi Kepolisian di Istana Negara, Kamis, lalu. Secara tak resmi, Presiden menginginkan kami mencari nama calon Kapolri lain, tapi masih belum secara formal,” kata Adrianus, 31 Januari 2015.
Presiden, kata Adrianus, beralasan status Budi Gunawan sebagai tersangka suap dan gratifikasi tak memungkinkan dia dilantik. Apalagi, masyarakat pun mendesak Jokowi tak melantik dan mencabut pencalonan Budi. Tapi Jokowi menunggu putusan sidang praperadilan yang diajukan Budi. “Kami dan Presiden tak mau asal mengganti nama calon Kapolri jika pengadilan belum memutuskan," ujarnya.
Menurut Adrianus, Komisi Kepolisian belum mencari nama baru pengganti Budi Gunawan. Kalaupun Jokowi menginstruksikan pencarian nama lain, Komisi Kepolisian kemungkinan besar bakal merekomendasikan nama selain yang pernah diberikan kepada Presiden. Tujuannya, mencegah pemilihan Kapolri diwarnai kepentingan politik. (Dikutip dari: Tempo.co, Minggu, 1/2/15)
Langkah taktis ketiga adalah merangkul pihak oposisi, dengan melakukan pertemuan dengan boss KMP, Prabowo Subianto (PS). Pertemuan Bogor itu dapat dikapitalisasi oleh Presiden Jokowi sebagai sebuah kesuksesan, setidaknya membendung kemungkinan limpahan limbah hasil konflik Polri vs KPK ke Parlemen yang bisa saja dimainkan oleh barisan oposisi. Jurus Presiden Jokowi ternyata lumayan ampuh, sehingga KMP kemudian koor bersama menyetujui Presiden Jokowi memilih alternatif cakapolri. Ini berkat statemen PS yang sangat gamblang, bahwa beliau mendukung Presiden Jokowi dalam menyelesaikan konflik antar-lembaga tsb!
Dan kini, langkah taktis ke empat adalah memilih cakapolri baru. Inilah langkah yang paling krusial bagi Presiden Jokowi, karena beliau tetap harus bisa meyakinkan partnernya, terutama Trio KMP dan tidak mengusik terlalu keras Polri serta tanpa menciptakan kesan pemihakan terhadap KPK serta para pendukungnya. Kendati secara formal Presiden Jokowi menggunakan Kompolnas, karena aturannya memang demikian, saya kira beliau tidak akan membiarkan dirinya di "fait accompli" alias diplokotho oleh lembaga ini. Pengalaman sebelumnya, menurut hemat saya, menunjukkan bahwa Kompolnas bermain politik atau setidaknya menjadi kendaraan politik Trio KMP dalam menyodorkan cakapolri. Presiden Jokowi tampaknya akan lebih berhati-hati, dan Kompolnas pun, jika masih waras nalarnya, tentu harus lebih peka terhadap reaksi publik.
Saya masih optimis Presiden Jokowi akan mengajukan cakapolri baru dan tidak jadi melantik BG bagi Kapolri pengganti Jend. Sutarman. Kompromi-kompromi tentu akan mewarnai pilihan sang calon baru nanti. Ia tentu sosok yang bisa diterima elite politik (termasuk di Parlemen), tetapi juga orang yang tidak akan besar resistensinya dari masyarakat sipil. Jika ini berhasil, Presiden Jokowi akan lolos dari tekanan dari kelompok-kelompok elit yang selama ini sangat membebaninya, tetapi juga tidak akan membuat diriya ditinggalkan mereka. Sementara itu, dukungan rakyat dan kepercayaan publik (nasional dan internasional) pun akan tetap terjaga karena integritas dan konsistensi Presiden Jokowi terbukti tetap kuat dalam kegaduhan dan krisis yang sempat mengganggunya.
Penulis: Muhammad AS Hikam
0 Response to "Presiden Jokowi Makin "In-Control" Menghadapi Kisruh Cakapolri"