Tempo.co
Aksi seorang pendemo dari massa gabungan Forum Pembela Islam (FPI), Laskar Pembela Islam (LPI) dan Forum Umat Islam (FUI) di depan gedung DPRD DKI Jakarta, 10 November 2014.
|
Bahaya Menuduh Kafir
Oleh: Imron Baehaqi Lc
Menuduh adalah suatu perbuatan yang tidak menyenangkan. Orang yang dituduh akan terluka hatinya, apalagi tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya tidak disertai dengan bukti-bukti yang benar. Tentu ia akan merasa sangat terzholimi. Tuduhan seperti ini biasanya akan menimbulkan efek-efek negatif, seperti jalinan persaudaraan yang tidak harmonis, penceraian dalam rumah tangga, hilangnya kepercayaan dan harga diri, hilangnya pekerjaan dan jabatan dan sebagainya. Namun efek yang paling berbahaya adalah kerusakan akidah bagi pelakunya.
Oleh sebab itu, Islam telah memperingatkan kepada umatnya supaya tidak melakukan sembarang tuduhan kepada saudara seagamanya. Peringatan ini bisa dilihat dari beratnya hukuman atas seorang yang menuduh suatu perbuatan keji terhadap sesama saudaranya sendiri. Seperti menuduh melakukan perbuatan zina (qadzaf) sedangkan dia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi, maka hukuman bagi orang yang menuduh itu adalah didera sebanyak 80 kali dera. (QS. An-Nur:4-5).
Demikian pula menuduh kafir tanpa keterangan yang dapat dipercaya adalah suatu perbuatan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Tuduhan inilah yang menimbulkan efek paling berbahaya tadi, yaitu rusaknya akidah.
Berdasarkan kaidah asas Islam dalam perkara akidah disebutkan, bahwa tidak dibolehkan mengkafirkan seseorang dari golongan ahli kiblat, kecuali dengan bukti yang jelas dan akurat. Sebab pada dasarnya, sosok seorang muslim adalah iman, maka mengkafirkan seorang muslim dengan tanpa alasan yang kuat adalah perbuatan yang dilarang. Sekiranya tuduhan tersebut tidak benar, maka sebaliknya orang yang menuduh itu adalah kafir. Hal ini menunjukan betapa kerasnya larangan melakukan perbuatan menuduh dan saling melemparkan tuduhan kafir tanpa dalil. (Lihat: Dr Wahbah Zuhaili, Akhlakul Muslim: 'Alaqatuhu bin Nafsi wal Kaun, Darul Fikr al-Mu'asir, Beirut Lubnan, h. 298).
Pendapat di atas didasarkan kepada dalil Alquran surat al-Ruum ayat 44, Allah SWT. berfirman, "Siapa yang kafir, maka dia sendirilah yang menanggung akibat kekafirannya itu; dan barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan)."
Dalam menafsirkan ayat di atas, Prof Dr Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa sang penuduh (tanpa bukti yang valid) itu adalah kafir, yaitu entah dia itu fasik karena menutup kebenaran atau ia benar-benar kafir ( kafir mutlak). Sedangkan kufur mutlak, maknanya lebih luas dari fasik. Allah berfirman: "Barang siapa yang kafir setelah datang keterangan-keterangan yang jelas, maka mereka itulah orang-orang yang fasik". (QS Al-Nuur: 55).
Sedangkan, Nabi SAW telah menegaskan, bahwa orang yang menyifatkan saudara muslimnya dengan sifat kekufuran, maka hal itu adalah dosa. Bahkan tuduhan itu berbalik kepada dirinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Abi Dzar RA., bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: "Barang siapa yang memanggil seseorang dengan kata-kata kafir, atau berkata: wahai musuh Allah, sedangkan tidaklah demikian halnya, maka tuduhan dan kata-kata itu kembali dan berlaku kepada dirinya." (HR Bukhari dan Muslim)
Keterangan nash Alquran dan Hadis di atas hendaknya menjadi perhatian dan pelajaran bagi setiap muslim supaya lebih berhati-hati dan waspada untuk tidak mudah atau tergesa-gesa melemparkan sebuah tuduhan. Apalagi menuduh kafir terhadap sesama saudara muslim sendiri dengan tanpa bukti atau informasi yang valid. Sebab, tuduhan tersebut hanya akan membawa akibat yang membahayakan terhadap banyak pihak, terutama pelakunya sendiri. Di mana kemurnian akidahnya bisa rusak, gara-gara menuduh kafir terhadap saudaranya tanpa bukti dan kebenaran yang jelas dan nyata. Wallahu 'Alam bi Shawab
Penulis adalah Pengurus Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia, Bidang Dakwah dan Tarjih. (Dikutip dari: Republika.co.id, Sabtu, 12 November 2011)
Saya kira hal yang sama juga bisa diterapkan terhadap tuduhan Murtad (keluar dari keimanan Islam), sebagaimana yang dilakukan oleh sementara orang FPI terhadap Presiden Jokowi, karena beliau mengucapkan selamat Natal. Orang boleh berbeda pandangan mengenai masalah itu, tetapi menhukumi seorang Muslim sebagai Murtad bukan lah sesuatu yang menjadi wilayahnya. Hanya Allah SWT saja yang mempunyai hak absolut dalam hal yang satu ini.
Ketua Dewan Syura Front Pembela Islam Misbachul Anam meminta Presiden Joko Widodo tidak mengucapkan selamat Natal. Sebab, kata Misbach, Jokowi murtad atau keluar dari Islam jika mengucapkan selamat kepada umat Kristiani yang merayakan momen kelahiran Yesus Kristus tersebut.
"Haram hukumnya mengucapkan selamat Natal bagi orang Islam. Tak terkecuali bagi Presiden Jokowi," kata Misbach kepada Tempo.co, Kamis, 18 Desember 2014. (Dikutip dari Tempo,co, 19/12/14)
Sangatlah disayangkan bahwa Indonesia masih terus menerus diwarnai oleh persoalan seperti ini dan didaur ulang setiap bulan Desember, saat ummat Kristiani merayakan Natal. Kebiasaan mendaur ulang vonis Kafir atau Murtad setiap Desember di Indonesia ini jelas memalukan dan menunjukkan betapa masih lemahnya solidaritas dalam masyarakat kita, serta rendahnya kualitas keberagamaan di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini. Di negara Timur Tengahpun kebiasaan daur ulang seperti ini nyaris susah ditemukan. Di Palestina, misalnya, tidak ada yang repot jika Presiden atau tokoh Islam negeri itu mengucapkan selamat Natal atau hadir dalam upacara Natal. Di Iran, sudah sangat biasa pemimpin negara tsb mengucapkan selamat Natal. Di Mesir pun, selain kelompok fundamentalis jihadis, masalah Natal dan ucapan Natal tidak menjadi bagian dari daur ulang politik kebencian. (Baca Juga: Quraish Shihab: Kata Siapa Ucapkan 'Selamat Natal' Haram Bagi Muslim?)
Sejatinya, para pendaur-ulang kebencian di negeri ini tidak banyak jumlahnya. Bahkan bisa dibilang orang dan kelompok yang mendaur ulang itu ya itu-itu saja! Mayoritas ummat Islam Indonesia sudah ratusan tahun hidup dalam kemajemukan dan saling menghargai sesama ummat dan lintas-ummat beragama. Kalau ada yang mau menyampaikan ucapan hari perayaan agama yang berbeda dengan yang dipeluknya, tidaklah dipermasalahkan karena hal itu diniati untuk berbagi kegembiraan dan kebahagiaan dengan tujuan memperkuat solidaritas bermasyarakat dan berbangsa. Kalau tidak mau mengucapkan juga tidak masalah atau sanksi sosial, karena pihak yang tidak diberi ucapan juga tidak akan kekurangan suatu apa, apalagi sampai menuntut. Jadi, hanya para demagog, provokator, atau sebagian ummat yang bermental inferior saja yang senantiasa mendaur ulang kebiasaan buruk ini untuk tujuan-tujuan politik. Mereka mencap sesama Muslim secara semena-mana, bahkan kalau perlu melangkahi hak absolut yang hanya dimiliki oleh Tuhan dalam menentukan keimanan seseorang!
Jadi, buat saya pribadi, tuduhan oknum FPI terhadap Presiden Jokowi itu tak lebih dari kebiasaan daur ulang kebencian tiap Desember di negeri ini, sebuah kebiasaan dungu dan tidak beradab (uncivilized) yang semestinya tidak perlu ada di negeri ini. Fakta bahwa sampai sekarang kebiasaan tsb masih laku dan selalu jadi bahan berita, adalah salah satu indikator bahwa kualitas berbangsa dari sebagian ummat Islam di negeri ini masih sangat rendah atau mengalami erosi luar biasa. Penafsiran-penafsiran ajaran keagamaan yang semena-mata seperti pemurtadan atau pengkafiran sesama Muslim itu pun merupakan bukti bahwa paham obskurantisme masih belum sepenuhnya hilang di kalangan ummat Islam negeri ini.
Penulis: Prof Muhammad AS Hikam
0 Response to "Kebiasaan Pengkafiran Setiap Desember di Indonesia"