SUARA KAMI - Benarkah jika BBM naik, masyarakat akan semakin rajin? Pertanyaan ini hanya merupakan pertanyaan kebalikan dari omongan Menteri ESDM, Sudirman Said (SS), bahwa BBM murah hanya bikin masyarakat malas.
SS mempunyai hipotesa seperti itu dengan asumsi bahwa:
1) Pemberian subisidi menyebabkan harga jual BBM di Indonesia lebih murah daripada harga pasar;
2) Konsumsi BBM terus boros, sehingga impor minyak terus melonjak;
3) Sikap ini menyebabkan ketergantungan pada impor ; dan
4) Sikap tidak mau repot, nyaman saja dengan kondisi yang ada saat ini.
Saya bukanlah ahli ekonomi, apalagi ekonomi energi. Namun membaca asumsi dan hipotes SS ini, saya rasa Pak Menteri ini hanya melihat masalah kenaikan BBM dari perspektif bisnis minyak dan gas, sama sekali tidak memperhitungkan dimensi-dimensi lain yang tak kalah pentingnya bagi bangsa dan negara. Sebagai penyelenggara negara, seorang menteri tidak bisa hanya mendasarkan pandangannya dari satu perspektif belaka, apalagi masalah energi yang terkait erat dengan masalah keamanan nasional. Para pengamat migas menunjukkan bahwa masalah subsidi BBM tidak bisa hanya dilihat dari aspek bisnis untung rugi dengan mendasarkan kepada pasar internasional. Masalah ini juga terkait dengan pertanyaan mengapa RI yang pernah dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumber minyak dan gas yang besar, selalu mengambil kebijakan subsidi tsb.
Asumsi bahwa konsumsi terus boros, juga demikian. Pemborosan dalam konsumsi energi juga tidak hanya disebabkan oleh subisidi belaka. Faktanya kendati harga BBM terus dinaikkan, pemborosan konsumsi energi di masyarakat Indonesia tidak pernah mengalami penurunan, tetapi bahkan cenderung semakin meningkat. Lalu mengenai ketergantungan kepada impor, saya rasa ini bukan masalah masyarakat tetapi lebih kepada kesalahan Pemerintah yang tidak memiliki kebijakan energi nasional yang mendukung kemandirian energi serta ketahanan energi. Yang terakhir, bahwa sikap merasa nyaman, juga bukan hanya dimiliki masyarakat saja tetapi juga oleh para penyelenggara negara, termasuk Kementerian ESDM. Mengapa misalnya, sudah tahu ada persoalan demikian serius tetapi masih juga menerapkan kebijakan impor dan ketergantungan kepada asing dalam masalah energi?
Menyalahkan masyarakat memang sangat mudah, karena Menteri ESDM hanya menyerang sesuatu yang tidak kongkrit, seperti menyerang orang-orangan di sawah (strawmen). Belum lagi kalau nanti ketahuan bahwa SS sendiri pernah berada dan menjadi bagian dalam pengambil kebijaksanaan masalah energi nasional, baik di swasta maupun di pemerintahan.
Penilaian bahwqa masyarakat menjadi malas karena subsidi BBM, bagi saya, hanyalah retorika politik yang kosong belaka karena sulit untuk dipertanggungjawabkan apabila masalah subsidi BBM di negeri ini ditinjau bukan hanya dari satu perspektif yakni bisnis. Pengambil keputusan dalam Pemerintahan seperti SS seharusnya lebih komprehensif dalam melihat masalah, sehingga statemen yang dibuatnya tidak hanya terkesan menyalahkan para korban (blaming the victims), yakni masyarakat Indonesia. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
Tempo.co
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Sahdi, di halaman Istana Merdeka, Jakarta, 26 Oktober 2014.
|
“Presiden Jokowi akan melakukan pekerjaan sulit karena membuat masyarakat keluar dari zona nyaman,” katanya dalam diskusi tentang ketahanan energi di Kafe Pisa, Jakarta, Sabtu, 1 November 2014, seperti yang dilansir oleh Tempo.co.
SS mempunyai hipotesa seperti itu dengan asumsi bahwa:
1) Pemberian subisidi menyebabkan harga jual BBM di Indonesia lebih murah daripada harga pasar;
2) Konsumsi BBM terus boros, sehingga impor minyak terus melonjak;
3) Sikap ini menyebabkan ketergantungan pada impor ; dan
4) Sikap tidak mau repot, nyaman saja dengan kondisi yang ada saat ini.
Saya bukanlah ahli ekonomi, apalagi ekonomi energi. Namun membaca asumsi dan hipotes SS ini, saya rasa Pak Menteri ini hanya melihat masalah kenaikan BBM dari perspektif bisnis minyak dan gas, sama sekali tidak memperhitungkan dimensi-dimensi lain yang tak kalah pentingnya bagi bangsa dan negara. Sebagai penyelenggara negara, seorang menteri tidak bisa hanya mendasarkan pandangannya dari satu perspektif belaka, apalagi masalah energi yang terkait erat dengan masalah keamanan nasional. Para pengamat migas menunjukkan bahwa masalah subsidi BBM tidak bisa hanya dilihat dari aspek bisnis untung rugi dengan mendasarkan kepada pasar internasional. Masalah ini juga terkait dengan pertanyaan mengapa RI yang pernah dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki sumber minyak dan gas yang besar, selalu mengambil kebijakan subsidi tsb.
Asumsi bahwa konsumsi terus boros, juga demikian. Pemborosan dalam konsumsi energi juga tidak hanya disebabkan oleh subisidi belaka. Faktanya kendati harga BBM terus dinaikkan, pemborosan konsumsi energi di masyarakat Indonesia tidak pernah mengalami penurunan, tetapi bahkan cenderung semakin meningkat. Lalu mengenai ketergantungan kepada impor, saya rasa ini bukan masalah masyarakat tetapi lebih kepada kesalahan Pemerintah yang tidak memiliki kebijakan energi nasional yang mendukung kemandirian energi serta ketahanan energi. Yang terakhir, bahwa sikap merasa nyaman, juga bukan hanya dimiliki masyarakat saja tetapi juga oleh para penyelenggara negara, termasuk Kementerian ESDM. Mengapa misalnya, sudah tahu ada persoalan demikian serius tetapi masih juga menerapkan kebijakan impor dan ketergantungan kepada asing dalam masalah energi?
Menyalahkan masyarakat memang sangat mudah, karena Menteri ESDM hanya menyerang sesuatu yang tidak kongkrit, seperti menyerang orang-orangan di sawah (strawmen). Belum lagi kalau nanti ketahuan bahwa SS sendiri pernah berada dan menjadi bagian dalam pengambil kebijaksanaan masalah energi nasional, baik di swasta maupun di pemerintahan.
Penilaian bahwqa masyarakat menjadi malas karena subsidi BBM, bagi saya, hanyalah retorika politik yang kosong belaka karena sulit untuk dipertanggungjawabkan apabila masalah subsidi BBM di negeri ini ditinjau bukan hanya dari satu perspektif yakni bisnis. Pengambil keputusan dalam Pemerintahan seperti SS seharusnya lebih komprehensif dalam melihat masalah, sehingga statemen yang dibuatnya tidak hanya terkesan menyalahkan para korban (blaming the victims), yakni masyarakat Indonesia. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Menyikapi Omongan Menteri ESDM Soal Subsidi BBM"