Kompas.com
Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari
|
Hal tersebut ditegaskan Hajriyanto seusai menjadi pembicara dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Magelang, Sabtu (29/11/2014).
Hajriyanto menjelaskan, awalnya, kubu Agung Laksono menginginkan munas digelar pada Oktober 2014 sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART). Namun kubu Abu Rizal Bakrie (ARB) memaksakan penundaan munas hingga November. Akhirnya, ketika persiapan munas di Bali pada 30 November 2014 hampir rampung, kubu Agung memaksa munas ditunda hingga Januari 2015.
”Sekarang kedua kubu ini berbalik, yang tadinya ingin tahun 2015 seperti kubu ARB meminta dilaksanakan tanggal 30 November (hari ini). Sebaliknya kubu yang lain meminta munas dilakukan pada tahun 2015. Jadi, menurut saya ini hanya masalah materi yang pernah jadi pendirian mereka. Tidak ada yang fundamental,” tuturnya.Dikutip dari Kompas.com , Minggu, 30 November 2014.
”Tapi saya khawatir kalau sampai munas ini buru-buru diselenggarakan, November dan Januari tahun depan, pasti akan terjadi dualisme kepemimpinan. Karena yang terjadi perpecahan itu akan merambah ke kalangan bawah dan sulit diselesaikan,” tandasnya.
"Saya tidak menyetujui munas 30 November 2014 maupun Januari 2015. Saya ingin digelar sebuah munas yang merupakan munas kompromi, munas rekonsiliasi,” katanya.
”Malu kalau partai yang punya sejarah panjang tidak bisa menyelesaikan konflik di kalangan elit politik seperti sekarang ini. Padahal persoalan sebenarnya hanya karena masalah penentuan waktu munas,” imbuhnya yang juga mantan Wakil Ketua MPR RI ini.
Dualisme Kepemimpinan atau "Sandhyakalaning Golkar"
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
Mencermati pandangan Hajriyanto Y. Tohari (HT), mantan Wakil Ketua MPR RI dan salah satu pentolan di DPP Golkar, tentang kemelut dalam partai tsb., saya melihat selain ironis juga petunjuk bahwa perpecahan tersebut akan berpotensi lahirnya dualisme kepemimpinan, dan bahkan prospek muunculnya satu lagi partai sempalan Golkar. Mengapa demikian?
1). HT mengatakan bahwa pangkal persoalannya bukanlah masalah fundamental, tetapi "hal waktu penyelenggaraan musyawarah nasional" saja. Ini yang saya sebut ironis, karena Golkar adalah partai yang paling berpengalaman dan paling disiplin serta memiliki tokoh-tokoh yang berkelas nasional. Tetapi jika hanya soal waktu Munas saja berantem, tampaknya tidak masuk akal. Pasti ada persoalan yang fundamental, khususnya perebutan kekuasaan yaitu posisi Ketua umum yang akan menentukan pilihan Golkar dalam pemerintahan. Golkar bukanlah parpol yang biasa menjadi oposan, dan ini adalah fundamental karena sudah menjadi DNA partai beringin tsb.
2). HT mengatakan bahwa "perpecahan baru terjadi di kalangan elit politik, dan belum merangsek pada kalangan bawah." Saya juga merasa ini sebuah ironi, karena Golkar memiliki kultur politik patrimonial, apa kata boss itu kata anggota sampai di lapis bawah. Jadi, kalau perpecahan ini terjadi di tingkat pimpinjan, saya yakin yang di bawah juga akan ikut terbawa. Soal kapan perpecahan itu akan marak di bawah, itu mungkin beda dengan parpol lain yang tidak sebesar dan semengakar Golkar.
3). HT menyatakan juga bahwa "kalau sampai munas ini buru-buru diselenggarakan, November dan Januari tahun depan, pasti akan terjadi dualisme kepemimpinan" yang akibatnya "... akan merambah ke kalangan bawah dan sulit diselesaikan." Jadi, lebih ironis lagi, karena ini tabrakan dengan statemen yang sebelumnya, seakan-akan problemnya masih terbatas di elit dan tidak fundamental. Tetapi dalam nafas yang sama, HT pun khawatir ada perpecahan sampai di bawah. Ini justru berarti fundamental, bukan?
Walhasil, mau ditutupi kayak apa saja, Golkar sedang mengalami implosi (peledakan dari dalam) yang bisa mengancam eksistensinya sebagai sebuah partai yang pernah digdaya di negeri ini selama tiga dasawarsa lebih. Kendati para elitnya mencoba mencitrakan seolah-olah masalah ini sepele atau tidak serius, tetapi fakta di lapangan menunjukkan lain. Selain Golkar telah "beranak-pinak" menjadi beberapa parpol (PKPB, PKPI, Hanura, Gerindra, dan Nasdem), ia juga masih terus mengalami perpecahan di atas. Dan karena Golar adalah sebuah partai yang berkultur patrimonial, maka perpecahan di tingkat elit akan merambat ke bawah. Soal waktunya kapan, itu sangat relatif. Barangkali sudah waktunya menulis sebuah kisah tentang SANDHYAKALANING GOLKAR? [ASHikam]
0 Response to "Dualisme Kepemimpinan atau "Sandhyakalaning Golkar""