SUARA KAMI - Penolakan sebagian kalangan masyarakat terhadap rencana pendeklarasian FPI di Tulungagung, Jatim, harus dipantau dan dikendalikan oleh aparat keamanan agar tidak menciptakan gangguan ketertiban umum dan kekerasan. Reaksi sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok "Aliansi Masyarakat Tulungagung Cinta Damai" (AMTCD) itu (Tempo, Senin 27/10/14), sejatinya merupakan salah satu konsekuensi logis dari kebijakan politik Pemerintahan SBY yang terlalu lemah (soft), dan bahkan sering dikecam sebagai pembiaran, terhadap perilaku ormas yang demen melakukan kekerasan dengan kedok agama. Dalam hal ini, FPI dituding sebagai ormas yang seringkali melakukan tindak kekerasan dengan melawan hukum, namun aparat keamanan, termasuk Polri, cenderung bersikap pasif ataupun jika bertindak, ketika semuanya sudah terlambat dan korban telah berjatuhan.
Bukan berarti saya mengamini apa yang dikemukakan oleh Maliki Nusantara (MN), juru bicara AMTCD yang kemungkinan akan menggunakan kekerasan untuk menyetop acara FPI tersebut. Saya tegas menolak kekerasan kendati dengan alasan untuk menolak kekerasan juga. Bagaimanapun, kekerasan yang disahkan oleh hukum hanya menjadi wewenang aparat keamanan negara. Pihak-pihak yang berada dalam masyarakat sipil tidak boleh menggunakan kekerasan tanpa ada alasan yang bisa diabsahkan oleh hukum. Jika FPI nekad mendeklarasikan eksistensinya, AMTCD sah-sah saja melakukan penolakan, tetapi sama sekali tidak bisa memaksakan kehendak apalagi dengan kekerasan pula!. Ini artinya akan sama saja, menolak kekerasan dengan kekerasan. Ujung-ujungnya hanya akan membawa madharat yang lebih besar bagi masyarakat dan ummat beragama sendiri.
Seharusnya aparat Pemerintah, para wakil rakyat, aparat keamanan di daerah tersebut yang paling bertanggungjawab melakukan antisipasi dini agar aksi penolakan tersebut tidak menciptakan keributan dan gangguan terhadap keamanan masyarakat. Mereka bisa melakukan pendekatan terhadap FPI agar tidak melakukan kegiatan deklarasi itu saat ini. Barangkali jika komunikasi yang intensif antara para pemangku kepentingan bisa diwujudkan, maka solusi yang damai bisa diusahakan. Kasus Tulungagung ini juga menjadi pelajaran (a lesson learned) bagi FPI, bahwa penolakan demi penolakan akan terus terjadi kepada ormas tersebut manakala sikap mendukung penggunaan kekerasan masih menjadi "trade-mark" nya.
Pada akhirnya memang Pemerintah baru Presiden Jokowi harus merubah kebijakan sebelumnya, yang lembek (soft) terhadap ormas pelaku kekerasan di negeri ini. Inilah salah satu peninggalan (legacy) yang buruk dari Pemerintah SBY di dalam bidang keamanan dalam negeri. Memang SBY menangguk berbagai penghargaan internasional di bidang demokrasi dan penanganan kekerasan, tetapi semuanya itu tak ada artinya karena kekerasan atas nama agama di Indonesia masih tetap marak dan bahkan cenderung lebih sering terjadi. Saya berharap apa yang akan dilakukan FPI di Tulungagung dan reaksi sebagian masyarakat yg menolaknya tidak memperpanjang deretan peristiwa kekerasan di negeri ini. [ASHikam]
Tempo.co
Anggota Front Pembela Islam (FPI) saat menggelar aksi menolak perhelatan Miss World 2013 di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat (14/9).
|
Bukan berarti saya mengamini apa yang dikemukakan oleh Maliki Nusantara (MN), juru bicara AMTCD yang kemungkinan akan menggunakan kekerasan untuk menyetop acara FPI tersebut. Saya tegas menolak kekerasan kendati dengan alasan untuk menolak kekerasan juga. Bagaimanapun, kekerasan yang disahkan oleh hukum hanya menjadi wewenang aparat keamanan negara. Pihak-pihak yang berada dalam masyarakat sipil tidak boleh menggunakan kekerasan tanpa ada alasan yang bisa diabsahkan oleh hukum. Jika FPI nekad mendeklarasikan eksistensinya, AMTCD sah-sah saja melakukan penolakan, tetapi sama sekali tidak bisa memaksakan kehendak apalagi dengan kekerasan pula!. Ini artinya akan sama saja, menolak kekerasan dengan kekerasan. Ujung-ujungnya hanya akan membawa madharat yang lebih besar bagi masyarakat dan ummat beragama sendiri.
Seharusnya aparat Pemerintah, para wakil rakyat, aparat keamanan di daerah tersebut yang paling bertanggungjawab melakukan antisipasi dini agar aksi penolakan tersebut tidak menciptakan keributan dan gangguan terhadap keamanan masyarakat. Mereka bisa melakukan pendekatan terhadap FPI agar tidak melakukan kegiatan deklarasi itu saat ini. Barangkali jika komunikasi yang intensif antara para pemangku kepentingan bisa diwujudkan, maka solusi yang damai bisa diusahakan. Kasus Tulungagung ini juga menjadi pelajaran (a lesson learned) bagi FPI, bahwa penolakan demi penolakan akan terus terjadi kepada ormas tersebut manakala sikap mendukung penggunaan kekerasan masih menjadi "trade-mark" nya.
Pada akhirnya memang Pemerintah baru Presiden Jokowi harus merubah kebijakan sebelumnya, yang lembek (soft) terhadap ormas pelaku kekerasan di negeri ini. Inilah salah satu peninggalan (legacy) yang buruk dari Pemerintah SBY di dalam bidang keamanan dalam negeri. Memang SBY menangguk berbagai penghargaan internasional di bidang demokrasi dan penanganan kekerasan, tetapi semuanya itu tak ada artinya karena kekerasan atas nama agama di Indonesia masih tetap marak dan bahkan cenderung lebih sering terjadi. Saya berharap apa yang akan dilakukan FPI di Tulungagung dan reaksi sebagian masyarakat yg menolaknya tidak memperpanjang deretan peristiwa kekerasan di negeri ini. [ASHikam]
0 Response to "Mengantisipasi Aksi Penolakan Terhadap FPI"