Kompas.com
Presiden SBY
|
Dari perspektif hukum tata negara, kedua Perppu tersebut memang bisa dianggap sebagai sebuah terobosan karena telah mampu (untuk sementara) menganulir penerapan UU Pilkada yang baru saja disahkan tetapi telah menuai kemarahan publik di mana-mana (bahkan di Paris pun, beberapa hari lalu, ada unjuk rasa dari komunitas Indonesia yang memrotes UU tersebut). Sayangnya, dari perspektif politik praktis, kedua Perppu ini tidak akan bermanfaat bagi KIH jika nanti ditolak DPR setelah 30 hari. Suka atau tidak, potensi penolakan tersebut sangat nyata, sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), beberapa hari lalu. Kekuatan KIH di DPR sampai saat ini tidak mungkin bisa mengalahkan kekuatan KMP. Apalagi kini Partai Demokrat (PD) sudah terang benderang ada di pihak KMP setelah mendapat posisi strategis sebagai salah satu pimpinan DPR.
Pemerintah Jokowi dan KIH di DPR harus berani melakukan terobosan jika mereka memang menginginkan kekuatan pendukung di Parlemen mampu untuk mengatasi upaya KMP membuat Pemerintah Jokowi nanti tidak mampu mewujudkan platform dan program-program kerjanya dengan mulus. KIH di DPR mesti melihat "gambar yang lebih besar" dan tidak hanya normatif belaka dalam menyikapi dinamika ini. Langkah Presiden SBY dengan Perppu ini sejatinya bisa dimanfaatkan KIH dengan membuka dialog dan akomodasi politik kepada parpol-parpol yang ada di KMP. Mungkin saja biaya kompromi politik yang harus dibayar akan lumayan, tetapi jika dibandingkan dengan kerumitan yang akan dihadapi nanti, mungkin masih rasional.
Saya tidak melihat alternatif yang lebih afdol bagi KIH di DPR. Di ranah publik, mungkin saja Pemerintah bisa melakukan penggalangan dukungan dari elemen-elemen masyarakat sipil, media, intelektual, dll untuk membantu menekan KMP di DPR. Namun strategi ini cukup riskan untuk dipakai sebagai alternatif yang diandalkan. Sebab sifat dukungan politik dari masyarakat sipil ini sangat cair dan mudah berubah. Bagaimanapun juga, politik elektoral (DPR/DPRD/DPD) lebih bisa diprediksi dan memiliki tingkat legitimasi legal formal yang lebih kuat. Hanya jika negeri ini dalam situasi krisis maka tekanan publik yang massif bisa membantu. Dalam kondisi saat ini, gerakan massa tampaknya masih belum cukup efektif. Apalagi jika pemerintahan Jokowi nanti tidak kunjung mampu mewujudkan program-programnya kepada rakyat.
Itulah pilihan-pilihan politik yang tersedia bagi Jokowi dan KIH. Belajar dari pengalaman sebelumnya, diperlukan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif agar Pemerintahan bisa bertahan dan bekerja. Pengalaman 10 tahun pemerintahan Pak SBY menunjukkan bahwa kendati pihak pemerinah sudah didukung mayoritas partai, ternyata masih belum bisa diandalkan sepenuhnya di DPR. Apalagi jika koalisi pendukung Pemerintah lemah seperti KIH, setidaknya untuk sementara waktu ini. Mungkinkah elit-elit dalam KIH mau melakukan kompromi politik ini? Jawabnya terpulang pada kebijaksanaan dan kenegarawanan mereka.
Isi Perppu Pilkada yang Dikeluarkan Presiden SBY
Berikut garis besar isi Perppu yang diterbitkan Presiden. (dilansir oleh kompas.com)
1. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2);[ASHikam]
2. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung oleh DPRD (Pasal 205);
3. Adanya uji publik calon kepala daerah agar dapat mencegah calon yang integritasnya buruk dan kemampuannya rendah (Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 huruf d);
4. Penghematan atau pemotongan anggaran pilkada secara signifikan (Pasal 3, Pasal 65 ayat (1) huruf c, d, e, dan f, serta ayat (2), dan Pasal 200);
5. Pembatasan kampanye terbuka agar menghemat biaya dan mencegah konflik horizontal (Pasal 69);
6. Pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76);
7. Larangan politik uang dan biaya sewa parpol pengusung yang dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan wewenang (Pasal 47);
8. Larangan kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal (Pasal 68 huruf c);
9. Larangan pelibatan aparat birokrasi yang menyebabkan pilkada tidak netral (Pasal 70);
10. Larangan mencopot jabatan aparat birokrasi pasca-pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71);
11. Pengaturan yang jelas, akuntabel, dan tranparan terkait penyelesaian sengketa hasil pilkada (Bab XX Pasal 136 sd 159);
12. Pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 huruf g, Pasal 195);
13. Pilkada serentak (Pasal 3 ayat (1);
14. Pengaturan ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol yang akan mendaftarkan calon di KPU (Pasal 40, Pasal 41);
15. Penyelesaian sengketa hanya dua tingkat, yaitu pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 157);
16. Larangan pemanfaatan program atau kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat (3));
17. Gugatan perselisihan hasil pilkada ke pengadilan tinggi/Mahkamah Agung hanya dapat diajukan apabila memengaruhi hasil penetapan perolehan suara oleh KPU secara signifikan (Pasal 156 ayat (2).
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam, 3 September 2014.
0 Response to "Masih Diperlukan Kompromi Politik Pasca Perppu"