Blogger Ilustrasi: Santri Pria |
Clifford Geertz (CG), antropolog kondang dari AS, pada tahun 60-an menggunakan pendekatan fenomenologis ketika beliau menjelaskan pluralitas pemahaman keagamaan di Jawa, khususnya di kalangan komunitas Muslim. Tiga kategori "santri, abangan, dan priyayi" tidak serta merta berbeda secara fundamental dan sangat tegas karena kategori-kategori tsb bisa saja terjadi pada mereka yang mengaku beragama Islam. Demikian pula jika konteks abad 21 saat ini digunakan, maka kemungkinan-kemungkinan pergeseran makna mengenai kesantrian di masyarakat Jawa sendiri terutama setelah terjadi transformasi sosial akibat modernisasi yang besar-besaran selama lima dasawarsa terakhir.
Bagi saya usulan "Hari Santri" masih tetap terbuka untuk berbagai penafsiran dan tidak bisa hanya dimonopoli oleh sekelompok tertentu ummat Islam, misalnya kalangan ormas Islam terbesar di negeri ini, yakni NU. Kategori kaum santri dan karakter kesantrian jelas tidak hanya milik NU dan kaum pesantren saja. Ormas seperti Muhammadiyah dan Persis dll juga termasuk disana, demikian pula jutaan ummat Islam yang berada di luar ormas-ormas tsb. Belum lagi jika ketegori semacam itu dikaitkan dengan pemahaman aliran teologis dalam Islam yang kini makin menambah pluralitas ummat.
Apalagi dengan kategori abangan. Ini lebih spesifik lagi maknanya karena hanya dikenal di Jawa walaupun sesungguhnya fenomena "keabanganan" bisa dijumpai di mana saja bahkan di luar ummat Islam. Ia bukanlah pengelompokan sosial yang kongkrit apalagi memiliki kekuatan politik riil dan/atau diwakili parpol tertentu. Walhasil, omongan SD hanyalah semacam sensasi politik belaka yang ditujukan kepada Jokowi dan pendukungnya. Karena cuma sensasi maka kekhawatiran yang dikemukakannya juga tak berdasar.
Saya justru cenderung untuk mempertanyakan pembuatan Hari Santri ini dari sisi substansi, yakni manfaatnya bagi bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam. Apakah sekadar semacam hiburan politik bagi para pendukung pencapresan Jokowi-JK atau memang ada manfaat yang lebih jauh dari itu?.
Sebab sudah banyak hari-hari yang ditahbiskan sebagai momen yang perlu dirayakan di negeri ini baik yang wajib maupun tidak. Misalnya ada hari Proklamasi Kemerdekaan, Hari Pahlawan, dll yang dirayakan secara nasional dan memang sangat bermakna besar bagi bangsa. Tapi ada juga Hari Bumi, Hari Kesehatan, Hari Batik dll yang tidak banyak diketahui publik selain yang merasa terkait langsung. Kalau ditambah dengan Hari Santri, lalu apa sih arti dan manfaatnya?
Saya mengaku sebagai seorang santri dan (alhamdulillah) juga dianggap santri oleh orang lain. Tapi saya tidak paham apakah ada sesuatu yang signifikan dan membedakan jika ada Hari Santri diperingati dan dirayakan, baik dalam tataran makna maupun manfaat kongkrit. Mungkinkah ini karena saya tidak ikut heboh menuntut perlunya label-label seperti itu? Wallahua'lam. [ASHikam]
Catatan: Prof. Muhammad AS Hikam
Bahan Acuan: http://m.rmol.co/news.php?id=162154
0 Response to "Apa Sih Pentingnya "Hari Santri" Itu?"