Ada banyak versi yang berkembang di ranah publik dalam menyikapi janji ini.
Pertama, dan yang paling ekstrim, adalah pengingkaran total terhadap keberadaan janji itu. Contohnya, statemen AU yang mengingkari omongan sendiri dengan balik bertanya "siapa bilang?". (Tempo.co, 24/9/14, judul: Soal Gantung Diri di Monas, Anas: Siapa Bilang?)
Ini tentu saja sangat tidak jujur dan makin menunjukkan arogansi, kebohongan, dan pelecehan terhadap etika yang dilakukan seorang tokoh yang disanjung-sanjung akan menjadi pemimpin Indonesia di masa depan. Pengingkaran seperti ini saya yakin juga akan terekam dengan baik di media massa dan akan dicatat dalam memori publik. Tentu saja sebagai politisi dan tokoh publik yang punya pendukung, AU dkk mungkin bisa saja menghilangkan rekaman tersebut dari memori publik dalam jangka waktu tertentu. Tetapi yang susah adalah menghilangkan rekaman di media nasional dan internasional. Kedua statemen yang berlawanan secara ekstrem tersebut masing-masing akan menghantui AU dan karirnya di masa depan.
Kedua, dengan menganggap janji AU adalah metafora bahasa, bukan arti harfiah. Bagi pendukung-pendukungnya, statemen itu adalah metode retorika dalam komunikasi publik yang dipakai AU untuk meyakinkan khalayak bahwa dirinya sama sekali tidak bersalah atau bahkan terkait. Ini mirip dengan orang yang bilang "sungguh mati" atau "potong leher saya", dll ketika ingin menekankan dan meyakinkan lawan bicara. Metafora, dengan kata lain, tidak bisa dianggap sebagai ucapan yang sebenarnya. Oleh sebab itu, tidak ada keharusan bagi AU membuktikan janji tersebut karena memang bukan itu sebenarnya yang dimaksud dan seharusnya publik pun tahu bahwa itu hanyalah gaya bertutur (a figure of speech) retoris yang digunakan politisi.
Ketiga, janji AU memang metafora dan secara riil tidak bisa dilaksanakan karena berbagai pertimbangan. Namun demikian, janji tersebut memiliki bobot sanksi moral yang sangat berat bagi yang bersangkutan karena ternyata Hakim Tipikor telah memutus bahwa dirinya bersalah dalam kasus korupsi Proyek Hambalang. AU dan para pendukungnya bisa saja berkilah bahwa putusan itu tidak adil, bahwa proses pengadilan dipolitisasi, bahwa KPK menjadi alat kekuasaan dan blah..blah.. blah... lainnya. Tetapi bagi publik umumnya, putusan Pengadilan dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis, tentu beda dengan jika Pengadilan tersebut dibuat dalam sebuah masyarakat tertutup dan sistem politik otoriter. AU juga masih punya kesempatan banding dan kasasi di Pengadilan yang lebih tinggi, demikian juga Jaksa.
Dengan demikian, setidaknya untuk sementara sebelum putusan final nanti, publik tetap berhak menagih janji terhadap AU untuk memenuhi janjinya. Bentuknya tentu bukan digantung di Monas, tetapi bertanggungjawab secara moral sebagai seorang tokoh dan pribadi yang bisa dipegang janjinya. Bukan malah mencoba mencari-cari dalih dan kilah untuk balik menuding pihak lain, seperti mengajak "Mubahalah" (sumpah kutukan) kepada JPU. Cara seperti itu hanya akan memperkuat persangkaan negatif publik bahwa AU memang tidak memiliki komitmen moral terhadap penegakan hukum dan tidak konsisten dengan apa yang diucapkannya.
Bangsa ini memang masih harus banyak belajar dari para elitenya, sementara elitenya sendiri malah mengajari rakyat dengan ulah yang sangat berlawanan dengan landasan moral dan etis yang sering diucapkannya. Kasus AU adalah contoh paling terang benderang dan semoga rakyat tidak akan terbuai oleh janji-janji para elit yang tak punya tanggungjawab moral... [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam, 25 September 2014 dalam Akun Facebook Pribadinya.
0 Response to "Memaknai Janji Anas Soal Gantung di Monas"