Selamat Datang - Wellcome

Kapankah PDIP Berhenti "Ngempeng" dan Mau Disapih?

SUARA KAMI - Bayangkan ada orang yang usianya sudah belasan tahun, tetapi masih terus 'ngempeng' (menetek) Ibunya. Ketika orang bertanya-tanya kenapa demikian, usut punya usut karena hampir semua anggota keluarganya selalu khawatir jika si anak disapih akan terjadi apa-apa terhadapnya. Kekhawatiran itu terus berlanjut dan menjadi semacam 'keyakinan' kendati si anak sudah lulus SD, lulus SMP, dan bahkan lulus SMA! Maka kendati sang Ibu makin lanjut usia (dan sebenarnya sudah capek juga) sementara si anak juga sudah punya KTP karena secara jasmani dianggap dewasa, tetapi secara psikologi perkembangan manusia, ya masih balita.

KAPANKAH PDIP BERHENTI "NGEMPENG" DAN MAU DISAPIH?
Tempo.co
Ketum PDI P Megawati Soekarnoputri menyerahkan nasi tumpeng kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih Jokowi-JK, dalam pembubaran Tim kampanye nasional Jokowi-JK, di Posko Pemenangan, Jakarta, 29 Agustus 2014.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada PDIP, itulah kiasan yang agak pas buat parpol berlambang Banteng moncong putih ketika dalam Mukernas ke IV di Semarang kemarin memutuskan untuk tetap 'ngempeng' kepada Ketumnya yang sudah belasan tahun, Megawati Soekarnoputri (SM). Dari kaca mata keluarga besar PDIP dan para pendukungnya, tidak ada yang salah dengan "pengempengan" tersebut. Bukankah, meminjam istilah Tjahjo Kumolo (TK), sang Sekjen, PDIP harus dipimpin oleh keturunan Bung Karno (BK)? (Baca Kompas.com Sabtu, 20 September 2014 dengan Judul: Tjahjo Kumolo: PDI-P Harus Dipimpin Keturunan Bung Karno). Demikian juga kecemasan, kekhawatiran, kegalauan yang dilontarkan para petinggi PDIP, termasuk Presiden (terpilih) Jokowi sendiri, akan nasib dan kondisi PDIP seandainya MS turun tahta! Dll. Dsb. (Baca Laman rmol.com, Minggu 21 September 2014 dengan Judul: Megawati Masih Dibutuhkan Untuk Amankan Transisi PDIP).

Itulah tragedi dalam politik Indonesia yang, konon, sudah makin dewasa dan menjadi tauladan negara-negara lain dalam ihwal berdemokrasi. Parpol-parpol besar, yang sejatinya merupakan perangkat keras atau 'hardware' dalam sistem demokrasi itu, ternyata banyak yang masih menggunakan piranti lunak (software) jadul yang tidak kompatibel dengan sistem. Maka jangan kaget kalau sering mogok (hang), dan bahkan mengalami gagal sistem (system failure) ketika ia dioperasikan. Contoh-contoh sudah bejibun. Yang terakhir misalnya kisruh mekanisme pilkada di DPR saat ini, dan UU MD3 yang kini diajukan ke MK. Bisa dikatakan munculnya kedua kasus tersebut karena inkompatibilitas antara 'hardware' dan 'software' dalam sistem demokrasi kita, khususnya dalam parpol-parpol. Maunya demokrasi berjalan lancar, tetapi tidak bisa karena mental dan kelakuan parpol-parpol dan politisinya masih belum beranjak jauh dari feudalisme. Saking jumudnya, sampai ada petinggi parpol mengatakan pilkada langsung bertentangan dengan Sila ke 4 Pancasila!

Balik ke soal PDIP. Saya tidak mengatakan bahwa self-understanding PDIP tentang pentingnya MS sebagai Ketum DPP PDIP (yang mengingatkan saya pada julukan Presiden seumur hidup buat BK itu) keliru. Apalagi kalau dilihat dari aspek legal formal, AD/ART partai, jelas tidak ada aturan yang salah dan/atau dilanggar. Bahkan saya juga sepakat dengan pandangan bahwa seandainya bukan MS yang menjadi jangkar partai tersebut sejak heboh Kudatuli pada 1996 itu, belum tentu PDIP akan menjadi parpol yang solid dan besar sampai sekarang. Demikian pula saya setuju bahwa MS adalah pemimpin politik perempuan yang tidak kalah dengan Maggie 'The Iron Lady' Thatcher dari Inggris, Indira Gandhi dari India, atau juga Angela Merkel, Kanselir Jerman itu. Dan jangan salah, bangsa Indonesia harus bangga bisa memiliki Presiden perempuan sebelum Amerika Serikat (yang sudah 200 tahun usianya), karena sosok Presiden Megawati juga! (Baca Laman Tempo.co, Sabtu 20 September 2014, Judul: Politikus PDIP: Jika Mega Bukan Ketua Umum, Bisa Kacau)

Toh, saya sangat menyayangkan jika PDIP berkembang ibarat orang yang sudah dewasa tetapi masih 'ngempeng' terus. Kendati tidak ada hukum yang dilanggar dan bahkan mungkin si orang itu juga tetap bisa bekerja dan pintar seperti layaknya orang biasa, namun kiranya akan lebih sehat jiwa raganya jika ia tumbuh normal. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap kebaikan sang anak jika disapih, saya kira tidak perlu. PDIP sudah sangat dewasa dan berpengalaman dalam mengarungi segala macam uajian dan pancaroba, mulai Orba sampai sekarang. Bisa dibilang inilah parpol di negeri ini yang paling tahan uji dan tahan cuaca. Kalau demikian, kenapa masih penuh kekhawatiran melakukan regenerasi kepemimpinnya?

Saya kira masalah intinya ada di kalangan elit PDIP itu sendiri. Dugaan saya, ada pihak-pihak di dalam inner circle DPP yang tidak pernah siap dan dewasa untuk mandiri dan, karenanya, memilih bertahan mengempeng terus supaya posisi mereka aman. Ada juga pihak yang kurang pede untuk melepaskan diri dari zona kenyamanan dan berani berlari menyongsong dan menghadapi tantangan. Bahkan, saya tidak kaget juga jika ada sementara pihak yang punya gagasan agar PDIP membangun semacam "politik dinasti" dan membawa balik Indonesia ke zaman kerajaan. Ironisnya, MS sendiri sudah berkali-2 melakukan terobosan kongkrit yang menunjukkan beliau tidak takut atau khawatir jika PDIP memilih orang yang tepat bukan saja sebagai pemimpin partai tetapi bahkan memimpin RI!

Jadi, rasa-rasanya kok mustahil MS yang tidak siap menyapih PDIP, tetapi para ponggawa dan punakawan-puawakan nya yang tetap menginginkan "pengempengan" jalan terus selamanya. Sayang, sungguh sayang....

Oleh: Prof. Muhammad AS Hikam dalam Tulisan di Akun Facebook Pribadinya, Minggu (21 September 2014)

0 Response to "Kapankah PDIP Berhenti "Ngempeng" dan Mau Disapih?"