Net
Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono (AL)
|
Alternatif yang diajukan Pemerintah, cq Kemehukham, yaitu mengakui DPP Golkar hasil Munas Riau, pun ditolak kubu AL, walaupun diterima oleh kubu ARB. Alasan AL dkk sederhana saja, yakni jika kembali ke DPP hasil Munas Riau, tentu akan merugikan kubu tsb karena susunan personel dalam struktur DPP nanti akan cenderung menguntungkan ARB. Misalnya, Mahkamah Partai Golkar akan tetap orang-orang yang sama dan tentu saja ia akan menguntungkan kubu ARB.
Kemenkum HAM tak mengakui dua hasil munas Golkar di Jakarta dan Bali. Kemenkum HAM sebenarnya memberi jalan bagi kedua kubu yang dipimpin Aburizal Bakrie dan Agung Laksono untuk islah. Namun kedua kubu tak mau mengalah, sedangkan sejumlah elite mulai gundah soal posisi Golkar yang vacuum of power.
Saat ini kubu Aburizal Bakrie berpegang pada pernyataan Menkum HAM Yasonna Laoly yang mengatakan bahwa pemerintah mengakui hasil Munas Riau. Namun di surat keputusan Menkum HAM tidak ada kalimat seperti itu. (news.detik.com, Kamis, 18/12/2014)
Masih ada satu lagi model islah yang diajukan mantan Ketua DPP Golkar, Hajriyanto Y. Tohari (HYT), yakni diselenggarakan Munas bareng antara kedua kubu? Sepintas, inilah alternatif yang menarik. Dalam model tsb, islah bukan dilakukan oleh dua kubu yang saling berkonflik, tetapi melalui Munas bersama yang dipimipin oleh para sesepuh Golkar.
Hajriyanto Y. Tohari (HYT) memandang apa yang diputuskan Kemenkum HAM sudah hasil maksimal yang bisa dilakukan pemerintah. Pemerintah memilih menyerahkan penyelesaikan konflik ke internal partai beringin.
"Saya rasa itulah hasil maksimal yang bisa dilakukan oleh pemerintah c.q. Kementerian Hukum dan HAM terhadap kemelut internal Partai Golkar yang mengalami dua munas dan dua kepengurusan yang masing-masing mengklaim sebagai paling absah secara legal-formal," ujarnya.
Sejak awal Hajri memandang rekonsiliasi adalah jalan terbaik untuk partai beringin. Baginya, tidak masuk akal marwah partai sebesar Golkar dipertaruhkan hanya pada keputusan pemerintah.
"Untuk itulah saya menawarkan islah di antara dua kubu melalui sebuah munas rekonsiliasi. Sebuah partai tua, berpengalaman, dan besar harus mempunyai prosedur dan mekanisme menyelesaikan konflik atau perpecahan yang mencerminkan kedewasaan politik," ujarnya.
"Konflik itu biasa dalam politik. Tetapi setiap konflik harus diikuti dengan konsensus. Walhasil, konflik yang sekarang terjadi yang sudah mengarah pada perpecahan ini harus diakhiri dengan konsensus. Dan satu-satunya jalan adalah dengan mekanisme organisasi yang formal, yaitu munas untuk rekonsiliasi," pungkasnya. (news.detik.com, Selasa, 16/12/2014)
Namun, usul HYT ini pun tampaknya masih belum didengar oleh pihak yang berkonflik. Saya kira mereka masih belum memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi tentang siapa yang dianggap sesepuh yang netral, dan mungkin juga soal pembiayaan yang luar biasa besar yang harus dikeluarkan lagi oleh kedua kubu.
Hemat saya, alternatif terbaik adalah membawanya ke Pengadilan, yang sejatinya telah diantisipasi oleh kedua kubu juga. Pengadilan adalah yang jalan yang paling aman bagi Pemerintah karena bisa menjamin netralitasnya. Sementara itu, putusan peradilan yang tetap dan mengikat akan menjadi landasan keputusan Pemerintah memberikan legitimasi legal dan politis kepada salah satu kubu yang berseteru.
Mungkin persoalannya adalah seberapa lama proses peradilan tsb akan berlangsung? Dari pengalaman konflik partai yang pernah saya ikuti, ini sangat tergantung pada pihak Pengadilan (Negeri atau PTUN) dan MA yang kemungkinan sangat besar akan membuat putusan kasasi. Selain itu, proses peradilan pun tidak imun dari intervensi politik, termasuk kepentingan Pemerintah. Terlepas dari adanya persoalan ini, jalan ke Pengadilan tetap lebih efektif ketimbang upaya-upaya rekonsiliasi yang ditawarkan dan / atau ditempuh oleh kedua kubu yang berselisih saat ini. Wallahua'lam.
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Islah DPP Golkar Sama dengan Menegakkan Benang Basah"