SUARA KAMI - Munas Golkar yang digelar oleh Tim Penyelamat telah usai digelar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta. Mantan Menko Kesra dan mantan Ketua DPR-RI, Agung Laksono (AL) resmi didapuk menjadi Ketua Umum DPP Golkar versi Ancol (G-A) tersebut yang menjadi saingan Golkar versi Bali (G-B) yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie (ARB), boss Grup Bakrie dan mantan Menko Ekonomi masa Presiden SBY. Seperti telah banyak dianalisa, Golkar secara de facto kini pecah dua, kendati secara de jure masih menunggu sikap Pemerintah, cq Menkumham dan Pengadilan yang akan memutuskan siapa yang legal secara hukum. Kemungkinan lain tentu terbuka, yakni digelarnya Munas gabungan, atau munculnya partai sempalan yang baru, seperti sudah beberapa kali terjadi.
G-A bertolak belakang dengan G-B dalam hal pilihan koalisi di Parlemen, karena dengan terang-terangan menyatakan pihaknya tidak lagi mengakui menjadi bagian dari KMP, kendati juga belum menyatakan pindah menjadi bagian dari KIH. Yang pasti, G-A mendukung Pemerintahan Jokowi-JK. G-A juga tidak segera main pecat seperti yang dilakukan G-B yang sebelumnya telah memutuskan memecat belasan tokoh teras [partai beringin tsb, termasuk di antaranya AL dkk. Dalam isu UU Pilkada, G-A juga sepakat dengan Pemerintah dan KIH tentang Pilkada langsung, sedangkan G-B justru memutuskan menolak Pilkada langsung, yang berarti juga menolak Perppu Pilkada yg akan dibicarakan di sidang DPR bulan depan.
Pecahnya partai berlambang Beringin ini untuk kesekian kalinya menjadi bukti bahwa sistem kepartaian di Indonesia masih mengidap penyakit yang sama sejak Indonesia merdeka: sangat rentan perpecahan yang bersumber dari elit mereka sendiri. Jangankan parpol yang masih muda usia, Golkar yang telah bercokol setengah abad lamanya, dan sudah dianggap memiliki soliditas, jejaring, dan kaderisasi paling baik di negeri ini, tetapi karena kelemahan pada manajemen konflik elit, pada akhirnya mengalami apa yang dialamai oleh parpol-parpol seperti PDI dan PPP.
Pada akhirnya, partai yang dibangun secara dari atas (top-down) oleh rezim Orba tsb tak mampu bertahan karena menolak melakukan pembaharuan yang akan menjadikan dirinya parpol yang benar-benar sesuai dengan sistem demokrasi. Golkar masih terus bergeming dengan paradigma korporatisme yg ditopang dengan kultur politik patrimonial. Kendati sudah berkali-2 terjadi penyempalan (splitting), tetapi elit partai ini masih menganggap seakan-akan tidak ada masalah yang serius. Dan inilah hasil paling anyar, Golkar sudah pecah menjadi dua, sebuah prospek yang bahkan para pendiri partai ini pun tak pernah membayangkan akan terjadi. [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
Kompas.com
Ketua Presidium Penyelamat Partai Golongan Karya Agung Laksono saat membuka Musyawarah Nasional IX Partai Golkar di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (6/12/2014).
|
G-A bertolak belakang dengan G-B dalam hal pilihan koalisi di Parlemen, karena dengan terang-terangan menyatakan pihaknya tidak lagi mengakui menjadi bagian dari KMP, kendati juga belum menyatakan pindah menjadi bagian dari KIH. Yang pasti, G-A mendukung Pemerintahan Jokowi-JK. G-A juga tidak segera main pecat seperti yang dilakukan G-B yang sebelumnya telah memutuskan memecat belasan tokoh teras [partai beringin tsb, termasuk di antaranya AL dkk. Dalam isu UU Pilkada, G-A juga sepakat dengan Pemerintah dan KIH tentang Pilkada langsung, sedangkan G-B justru memutuskan menolak Pilkada langsung, yang berarti juga menolak Perppu Pilkada yg akan dibicarakan di sidang DPR bulan depan.
Agung Laksono terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar versi Musyawarah Nasional IX Partai Golkar di Jakarta, lewat pemungutan suara pada Senin (8/12/2014) dini hari.
"Munas ini berkehendak (Golkar) tak lagi di Koalisi Merah Putih," tegas Agung seusai terpilih.
"Perppu kami dukung, kami dukung pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla," ujar Agung lebih lanjut.
"Kami dalam posisi sebagai mitra. Tidak masuk Koalisi Indonesia Hebat. Bahkan kami berpandangan sebaiknya sudahlah tidak usah koalisi-koalisian lagi. Bubarkan saja (koalisi) supaya parlemen tugasnya awasi pemerintah, hak budget, dan awasi UU," papar Agung lebih jelas. (Dikutip dari Kompas.com, Senin, 8 Desember 2014).
Pecahnya partai berlambang Beringin ini untuk kesekian kalinya menjadi bukti bahwa sistem kepartaian di Indonesia masih mengidap penyakit yang sama sejak Indonesia merdeka: sangat rentan perpecahan yang bersumber dari elit mereka sendiri. Jangankan parpol yang masih muda usia, Golkar yang telah bercokol setengah abad lamanya, dan sudah dianggap memiliki soliditas, jejaring, dan kaderisasi paling baik di negeri ini, tetapi karena kelemahan pada manajemen konflik elit, pada akhirnya mengalami apa yang dialamai oleh parpol-parpol seperti PDI dan PPP.
Pada akhirnya, partai yang dibangun secara dari atas (top-down) oleh rezim Orba tsb tak mampu bertahan karena menolak melakukan pembaharuan yang akan menjadikan dirinya parpol yang benar-benar sesuai dengan sistem demokrasi. Golkar masih terus bergeming dengan paradigma korporatisme yg ditopang dengan kultur politik patrimonial. Kendati sudah berkali-2 terjadi penyempalan (splitting), tetapi elit partai ini masih menganggap seakan-akan tidak ada masalah yang serius. Dan inilah hasil paling anyar, Golkar sudah pecah menjadi dua, sebuah prospek yang bahkan para pendiri partai ini pun tak pernah membayangkan akan terjadi. [ASHikam]
Penulis: Prof. Muhammad AS Hikam
0 Response to "Golkar Sempalan Atau Golkar Pecah Dua?"